Setiap pertunjukan lagu-lagu dari penjara serta karya-karya seni lain yang menyuarakan harapan korban merupakan ruang dialog antara penyintas dan publik, generasi tua dan anak muda, dunia aktivis dan dunia seni budaya, yang mengingatkan semua tentang hutang negara yang belum dilunasi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan atas peristiwa-peristiwa di masa lalu yang telah mengingkari peri-kemanusiaan bangsa Indonesia.
Kerangka hukum yang dibangun sejak tahun-tahun pertama Era Reformasi untuk menyelenggarakan proses pengungkapan kebenaran dan proses peradilan ternyata belum menghasilkan penyikapan yang tegas dari Negara dan belum mampu memenuhi rasa adil bagi para korban. Pengadilan ad hoc HAM yang diselenggarakan untuk dua perkara – Timor Timur dan Tanjung Priok tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tentang apa yang sebenarnya terjadi dan memberi pesan kepada publik bahwa tidak ada yang bersalah karena berujung dengan putusan bebas bagi semua yang terdakwa. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkah melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan belum ada rancangan hukum baru untuk menggantikannya. Laporan tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi di Timor Leste melalui sebuah Komisi Kebenaran dan Persahabatan juga belum ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata bagi para korbannya. Simposium nasional tentang Tragedi 65 yang diselenggarakan Dewan Pertimbangan Presiden RI pada tahun 2016 mendapatkan penolakan dari kalangan militer sehingga menutup peluang bagi dialog yang berkelanjutan. Alhasil, 20 tahun setelah Reformasi, siklus impunitas belum juga terputus.