Pandemi mempersulit kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan. Guna mendalami bagaimana situasi lembaga pengada layanan (women’s crisis center/WCC) dan pendamping di masa pandemi, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) menggelar diskusi kelompok terpimpin (FGD) bertajuk “Update: Resiliensi dan Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Kerja Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan Seksual dan Disabilitas di Indonesia”. FGD ini juga merupakan kerja sama dengan Komnas Perempuan. Selama dua hari, yakni Senin (23/8) dan Selasa (24/8), sebanyak 17 lembaga pengada layanan yang tersebar di seluruh Indonesia turut berpartisipasi secara daring.
WCC dan para pendamping besar perannya sebagai garda terdepan dalam membantu perempuan korban kekerasan. Terlebih di masa pandemi ini, kasus kekerasan terhadap perempuan justru mengalami peningkatan. Komnas Perempuan per Juni 2021 menerima 2.595 kasus. Angka kasus dalam satu semester ini lebih banyak daripada angka kasus selama satu tahun pada 2020, yakni 2.389 kasus. Mengkhawatirkannya lagi, angka ini berpotensi terus bertambah sampai penghujung tahun 2021.
Meningkatnya angka kekerasan yang menimpa perempuan menunjukkan bertambah banyaknya tugas pendamping, sementara fasilitas dan jumlah pendamping yang terbatas. Tidak dapat ditunda lagi, kesejahteraan dan kesehatan pendamping di masa pandemi harus menjadi perhatian bersama. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan Veryanto Sitohang.
“Karena mandat Komnas Perempuan tidak bisa mendampingi kasus secara langsung, maka harapan kami, pengada layanan adalah lembaga di garda terdepan untuk mendampingi perempuan korban kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Karena itu, kemudian kita berharap kita bisa bersinergi. Diawali dengan memastikan bahwa teman-teman bisa merawat kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesentosaan dalam melakukan upaya-upaya pendampingan,” ujarnya saat pembukaan.
Temuan FGD menunjukkan beberapa pendamping masih melakukan kerja pendampingan secara langsung. Ini artinya pendamping harus mengunjungi tempat-tempat seperti kepolisian, pengadilan negeri dan/atau agama, hingga rumah sakit untuk menemani korban. Mobilitas pendampingan secara langsung membuat risiko pendamping dan korban terpapar Covid-19 menjadi meningkat.
Ada beberapa pertimbangan yang membuat WCC dan pendamping memutuskan untuk tetap memberikan pendampingan secara langsung. Di antaranya adalah korban yang merasa lebih aman jika diberikan pendampingan secara langsung. Pendamping yang hadir pun menilai hasil dari pendampingan secara daring kurang optimal. Selain itu, para pendamping mengutarakan jika kasus yang banyak mereka terima adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dampaknya, korban jadi sulit mengakses alat komunikasi untuk meminta bantuan pendamping saat berada di bawah atap yang sama dengan pelaku. Tak ketinggalan juga karena belum meratanya literasi digital dan penetrasi internet di banyak daerah di Indonesia.
Pada titik tertentu di masa pandemi ini, ada juga beberapa WCC yang terpaksa menghentikan pelayanannya. Ini terjadi lantaran para pendamping yang terpapar Covid-19. Tantangan yang pendamping hadapi bertambah karena WCC harus menambah pengeluaran sumber daya untuk memenuhi kebutuhan isolasi mandiri (isoman) para pendamping, seperti masker, disinfektan, suplemen, dan tes PCR. WCC yang kekurangan sumber daya untuk menyuplai kebutuhan isoman harus mengandalkan bantuan dari jaringan WCC dan donasi.
WCC yang masih melakukan pendampingan secara langsung juga harus melengkapi pendamping dengan Alat Pelindung Diri (APD). Langkah perlindungan pendamping ini tentunya mengharuskan pengeluaran lebih oleh WCC. Tantangan pengeluaran ini tak hanya dirasakan oleh WCC, tetapi juga korban. Sejak pandemi melanda, korban yang ingin mengakses rumah aman wajib melampirkan tes negatif Covid-19. Walaupun regulasi tersebut adalah langkah untuk saling melindung, tetapi kita tahu bahwa harga tes antigen, PCR, dan swab tidaklah murah. Ini kian merisaukan manakala kita mendengar bahwa kebanyakan korban berasal dari warga kurang mampu.
Lantas, upaya apa yang bisa dilakukan untuk meringankan kerja pendampingan selama masa pandemi? IKa bersama Komnas Perempuan dan pendamping di FGD turut mendiskusikan solusi dari tantangan yang dihadapi. Mengingat pengeluaran dana yang berlipat ganda menjadi salah satu kekhawatiran di masa pandemi, maka aspirasi para pendamping adalah pemerintah daerah dan lokal menyiapkan anggaran dengan nominal yang layak. Ketersediaan sumber daya ini bisa meningkatkan kinerja pendampingan karena fokus WCC tak lagi pecah ke cabang finansial. Performa negara sebagai duty bearer di masa pandemi mendapat ponten merah dari para pendamping dalam hal pemberian dukungan untuk kerja WCC.
Bantuan yang disalurkan kepada WCC dan pendamping tentu tak hanya berupa dana. Memberi akses fasilitas kesehatan, seperti pengobatan dan vaksin Covid-19 pun merupakan bantuan yang bisa meringankan beban pendamping. Pandemi ini menuntut WCC untuk terampil dalam mengumpulkan sumber daya. Karenanya, upaya konkret seperti pelatihan penyusunan proposal bisa berguna bagi WCC yang ingin menjangkau calon donor. Melatih WCC untuk menyusun strategi advokasi kekerasan terhadap perempuan juga investasi yang memiliki dampak hingga masyarakat awam. Semakin banyak orang yang tahu dengan isu perempuan, semakin besar juga peluang menarik lebih banyak dukungan.
Temuan FGD ini akan menjadi bahan untuk memetakan langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Salah satunya adalah pembuatan kertas posisi untuk lebih efektif dalam memetakan dan mengidentifikasi masalah para pendamping, sehingga mempermudah pencarian solusi.
Sementara ini, WCC diarahkan untuk mengakses sumber daya yang bisa digunakan untuk kebutuhan operasional, pemulihan, hingga pemberdayaan korban melalui sejumlah kanal. Di antaranya adalah Baznas, Dinas Pemberdayaan Desa, Dinas Sosial, instansi keagamaan, hingga perguruan tinggi. Membantu kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan memang membutuhkan sinergi banyak pihak.
IKa dan Komnas Perempuan juga saat ini tengah mengadakan penggalangan dana untuk membantu penuhi kebutuhan para pendamping yang terpapar Covid-19. Ini merupakan bentuk komitmen IKa dan Komnas Perempuan dalam mendukung hak kesehatan pendamping. Sampai saat ini IKa melalui Kolaborasi pundi perempuan dan pundi insani telah mengumpulkan donasi senilai Rp. 21.677.525 juta rupiah dari hasil solidaritas publik. Hasil penggalangan ini telah diberikan pada 18 Pendamping di berbagai WCC untuk mendapatkan diantaranya kebutuhan akan tes SWAB PCR, obat-obatan, dan kebutuhan esensial lain yang sulit didapatkan aksesnya saat ini. IKa akan terus membuka penggalangan dana ini untuk merespon kebutuhan rekan pendamping di lapangan.
Sahabat juga bisa berkontribusi untuk meringankan beban pendamping dengan transfer melalui link berikut:
Setiap bantuan Sahabat sangat berarti bagi pendamping di masa krisis ini.
Mari kita terus dukung kesejahteraan WCC dan pendamping sebagai garda terdepan bagi perempuan korban kekerasan di masa pandemi.