Ketoprak Pagebluk dan Penggambaran Ketakutan di Masa Pandemi

Wabah Covid-19 adalah hal yang menakutkan untuk masyarakat Indonesia. Kasus pertama virus ini ditemukan dua bulan lalu di Indonesia, dan saat ini sudah lebih dari 12 juta yang terinfeksi. Ketakutan ini sama persis dengan apa yang yang dirasakan oleh korban Tragedi 65 pada saat pembantaian pasca Gerakan 30 September.

“Tahun ’65 mereka terbuang di penjara, di pulau buru, kalau sekarang mereka diasingkan jauh dari keluarga, ditolak jenazahnya dan diberi stigma buruk karena berpenyakit. Jadi persamaan tragedi ’65 dengan pandemik corona ini yang kita angkat dan pentaskan.“Ucap Winarso, Koordinator Ketoprak Srawung Bersama (KSB).

Pagebluk yang disutradarai oleh St. Wiyono berangkat dari ide cerita Winarso. ST Wiyono sendiri adalah seorang seniman dan penulis naskah teater yang telah mengabdi selama 32 tahun di Taman Budaya Surakarta. Dalam berkarya, ia selalu menekankan pada tiga aspek yakni edukasi, kultural dan rekreasi. Sejumlah karya ST Wiyono yaitu Medio 1980-1990 cukup disegani di tingkat nasional. Naskahnya yang berjudul Dua Matahari, Ranggalawe dan Gendhuk Gotri juga pernah masuk tiga besar festival teater tingkat nasional.

Pemain dari Ketoprak Pagebluk ini terdiri dari gabungan seniman tradisional dan seniman modern, anak cucu korban, dan anak muda yang umumnya adalah mahasiswa UNS dan ISI Solo, serta dilengkapi pertunjukan karawitan dari Lumbini dkk. Ketoprak Pagebluk hadir dengan dukungan dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Program Peduli.

Program Peduli adalah sebuah program pengentasan kemiskinan yang menggunakan pendekatan pembangunan inklusif untuk memastikan kelompok masyarakat marginal yang tidak terjangkau juga dapat terlibat dan mendapat manfaat dari pembangunan. Program Peduli bekerja dengan dan untuk orang-orang terpinggirkan di seluruh Indonesia untuk mendukung mereka mengakses layanan publik, keadilan dan peluang ekonomi.

Sedianya ketoprak akan pentas dengan mengadaptasi cerita Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Mangir pada 28 Maret secara langsung. Namun, karena pandemi Covid-19, Sekber 65 berdiskusi dengan seniman ketoprak, untuk merespons situasi ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk ikut memberi edukasi tentang pandemi. jadilah akhirnya ketoprak melakukan pementasan Pagebluk yang dilaksanakan secara streaming, agar bisa disaksikan lebih banyak orang, dengan tema disesuaikan yakni Covid-19.

Pagebluk bercerita tentang sebuah Kadipaten Selogumito yang terkena wabah Covid-19. Awalnya sang Adipati kebingungan dalam merespon wabah tersebut, namun setelah diskusi panjang dengan dua orang kepercayaannya, Adipati memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan lockdown, yang ternyata merupakan akronim dari:

L : Lungguh ayem ning omah (duduk tentram di rumah)

O : Ora usah keluyuran (tidak boleh keluar rumah jika tidak sangat penting)

C : Cukup ngasohi (harus banyak istirahat)

K : Kumpul karo keluarga (berkumpul dan berbahagia bersama keluarga)

D : Dipepe awake (berjemur di bawah sinar matahari)

O : Olahraga secukupe (olahraga secukupnya)

W : Wisuh karo sabun (cuci tangan pakai sabun)

N : Ngerungo seng akeh (diam yang banyak)

Keputusan ini tidak hadir dari ruang kosong. Awalnya Adimas Senopati, sebagai petinggi Kadipaten, merasa Adipati perlu mengeluarkan kebijakan tegas kepada rakyat agar Covid-19 tidak tersebar. Ia mendorong kebijakan penangkapan warga yang tetap keluar dari rumah tanpa mempedulikan hak asasi masyarakat. Namun, berkat perenungan salah satu mantap prajurit Kadipaten yang merasa bersalah telah melakukan tindak kekerasan yang bahkan menimbulkan darah pada 55 tahun sebelumnya, akhirnya Adipati mengeluarkan kebijakan yang fokus untuk menangkap wabah dengan tetap memperhatikan hak asasi masyarakat.

Mengangkat Cerita Pelanggaran HAM dengan Budaya

Hingga hari ini, membahas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia perlu pendekatan menarik agar bisa diterima masyarakat. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah pendekatan budaya dan kesenian. Kesenian tradisional dan kesenian modern memang membahas isu sosial, tapi masih kurang dalam menyinggung soal pelanggaran HAM berat. Penerimaan pelaku seni juga berbeda-beda, bahkan ada yang belum menerima.Winarso bercerita, awalnya pelaku seni tradisional dan modern di Solo sempat menolak untuk mengangkat isu pelanggaran HAM Berat.

Setelah banyak berdiskusi dan melakukan pendekatan personal, banyak pelaku seni yang setuju untuk mengangkat isu pelanggaran HAM berat. Selain itu, para pelaku seni juga dipertemukan dengan korban dan anak cucunya supaya bisa mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai apa yang dialami korban dan anak cucunya. Setelah berproses, mulai banyak pihak yang terlibat dalam berbagai pementasan yang dilakukan KSB, seperti mahasiswa dan dosen UNS Surakarta dan ISI Solo.

Ketoprak Pagebluk mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari masyarakat luas. Hal ini dikarenakan ketoprak yang merupakan kesenian tradisional, tidak hanya menghibur, tapi juga mampu memberikan edukasi terhadap masyarakat terkait pandemi Covid-19 dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Bahkan, Walikota Solo memberikan apresiasi langsung melalui pesan singkat WhatsApp dan berharap pementasan Pagebluk bisa dilaksanakan di Balai Kota.

Ketoprak Pagebluk adalah satu langkah baik yang bisa dikembangkan lebih jauh oleh semua pihak untuk memberikan edukasi ke masyarakat mengenai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Kita semua perlu mengingat dan belajar dari masa lalu agar berbagai tragedi di Indonesia tidak kembali terulang “Dengan kesenian kita bisa memberikan edukasi masyarakat tanpa terasa sedang menggurui. Kesenian adalah medium yang sangat ampuh untuk bisa diterima masyarakat dengan hati senang.” Tutup Winarso

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!