Seperti belahan Nusa Tenggara Timur lainnya, geografi Pulau Lembata yang dikelilingi lima gunung berapi dan lautan menjadi permata yang tersembunyi dari provinsi tersebut. Keindahannya memikat hati, tidak hanya perhatian lokal, melainkan juga nasional hingga internasional. Namun pada saat ini, keindahan tersebut telah tersapu bersih oleh bencana banjir yang berlangsung pada 4 April 2021. Banjir tersebut disebut sebagai bencana terbesar yang terjadi dalam 10 tahun terakhir di NTT. Mulanya, terjadi hujan yang sangat deras bahkan cukup kuat untuk mendorong bebatuan dari gunung turun ke kaki gunung dan dataran rendah. Sehingga, melindas rumah-rumah warga yang ada. Pada saat bersamaan, air laut naik ke daratan sehingga memperparah keadaan yang sudah sulit.
6 dari 9 kecamatan di Pulau Lembata, terkena dampak hebat dari bencana ini. Dari 6 kecamatan tersebut, Ile Ape Timur merupakan kecamatan yang terdampak parah dalam bencana banjir ini. Bencana erupsi yang dimulai sejak bulan November tahun lalu, masih berlangsung hingga sekarang. Walaupun bencana tersebut berskala kecil, tidak memungkiri banyak kerugian yang ditimbulkannya misalnya kehilangan sekolah, rumah yang memperparah situasi pendidikan ataupun ekonomi yang sudah parah di daerah tersebut.
Salah satu dari banyak korban yang terdampak adalah Mama Rensa. Ibu ini merupakan salah satu dari penduduk Kecamatan Ile Ape Timur yang melihat dan merasakan horornya bencana ini secara langsung. Banjir tersebut berlangsung di malam hari tepat setelah dua hujan besar terjadi. Pada saat itu, Mama Rensa sedang berada di rumah bersama suami dan anaknya. Sehingga ketika banjir berlangsung, Mama Rensa sudah sempat mengemas barang-barangnya untuk mengungsi di rumah yang bertempat di dataran lebih tinggi. Tetapi, ketika hendak keluar dari rumah, banjir sudah tinggi, dan Mama Rensa pada akhirnya terpaksa mencari tempat mengungsi di daerah sekitar rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke tempat pengungsian, banyak pula tantangan yang dihadapi. Mama Rensa merasakan tertimpa bebatuan dan banyak tantangan lain yang dihadapi.
Posko-posko yang ada terbagi menjadi posko umum dan posko mandiri. Posko umum pada umumnya memiliki fasilitas penunjang yang lengkap, seperti listrik, air, pangan yang cukup, pakaian pun begitu. Tidak hanya itu, posko umum juga seringkali dilengkapi tenaga kesehatan dan pendamping psikososial yang siap memberikan pelayanannya. Namun, keadaan berkata sebaliknya di posko mandiri seperti yang Mama Rensa tempati. Posko mandiri terbagi atas posko di perkotaan, rumah warga dan juga perkebunan. Pada saat ini, Mama Rensa berada pada posko mandiri di rumah warga yang konon keadaannya masih lebih baik. Tetapi untuk posko yang didirikan di perkebunan masyarakat kondisinya masih sangat terbatas fasilitas yang memadai untuk ditempati. Kebanyakan dari pengungsi di posko mandiri memilih untuk menetap karena adanya keinginan untuk tetap bersama keluarga yang baru saja meninggalkan mereka. Meskipun kebutuhan dasar seperti listrik harus diperoleh dari desa terdekat, dan mereka harus berjalan kaki cukup jauh untuk menjemput bantuan-bantuan yang ada. Dalam hal kesehatan, para tenaga Kesehatan bersedia untuk menghampiri para korban yang tinggal di posko mandiri namun ketersediaannya juga sangat terbatas.
Banyak kerugian mulai dari rumah-rumah yang terbawa hanyut, kerusakan rumah, sekolah, posyandu, infrastruktur, ditambah pula dengan kematian para korban. Hingga kini, terdapat sebanyak 60 korban yang meninggal dan 20 korban yang masih dalam tahap pencarian. Terlepas dari pilunya keadaan, Pemerintah Daerah masih saja tidak sigap dalam menangani bencana mulai dari keterlambatannya yang membuat perannya tergantikan oleh para aktivis organisasi kemasyarakatan, hingga keputusannya dinilai terlalu terburu-buru untuk menghentikan pencarian para korban yang masih belum ditemukan. Alasannya karena masih ada daerah yang sulit dijangkau. Sebelum bencana ini saja, infrastruktur jalan di Lembata sudah berada dalam keadaan yang tidak mendukung dan terjadinya bencana ini hanya memperparah keadaan tersebut.
Hampir tidak ada yang tertinggal dari Ile Ape Timur. Dan menyadari hal ini, Mama Rensa, sangat pesimis untuk balik dan menetap di Ile Ape Timur. Keperihan ini tidak hanya dirasakan oleh penduduk Lembata tetapi juga masyarakat lain di penjuru Indonesia. Banyak bantuan yang tiba untuk membantu Lembata berdiri Kembali. Para tokoh publik hingga Presiden Republik Indonesia, menghampiri daerah terdampak untuk memberikan dukungan mereka. Bersama dengan para aktivis lokal, tenaga Kesehatan, Lembata menjadi dapat bangkit Kembali.
Salah satunya yang mengambil peran penting itu juga adalah Ibu Maria Loka, seorang aktivis asal Lembata yang memimpin organisasi LSM Permata yang bergerak di bidang pendampingan untuk korban kekerasan perempuan di Lembata. Selain bertanggung jawab menangani krisis-krisis kekerasan perempuan yang kerap terjadi bahkan di tengah bencana, Ibu Maria Loka juga menjadi relawan dalam Bencana Banjir Lembata ini. Beliau beserta teman-teman relawan lainnya, bekerja membantu proses pendampingan psikososial bagi anak-anak ataupun korban bencana banjir tersebut yang masih sangat jarang di Lembata. Pada akhirnya, bantuan-bantuan yang diberikan tidak hanya membantu Lembata dan para penduduknya tetapi juga merekatkan Lembata sendiri. Lembata sangat membutuhkan pelita-pelita seperti Ibu Maria Loka. Tetaplah terus ada pelita di Lembata yang menambah sepercik harapan dan motivasi agar terlepas dari kesedihan.