Didik Dyah Suci Rahayu: Kartini Modern Bagi Para Lansia Solo

Didik Dyah Suci Rahayu atau yang kerap disapa Didik, merupakan perempuan dari Karanganyar yang tetap semangat dalam membantu para lansia korban ’65 untuk mendapatkan haknya dari negara. Didik merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang di mana ia merupakan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara tersebut.

Terlahir dari keluarga ABRI tak membuat Didik di dalam keluarga diacuhkan dengan pilihan yang saat ini ia pilih sebagai pionir bagi para lansia. Keluarganya memberikan kebebasan dalam menentukan langkah dari yang Didik ambil. Tahun 1987, ia berkuliah di Universitas Swasta yang berada di Surakarta dan lulus pada tahun 1992. Dengan jurusan yang diambil yaitu sejarah.

Ia termasuk perempuan yang aktif semasa berkuliah. Ini terbukti dengan dia mengikuti kegiatan mahasiswa, lalu masuk ke jurnalistik dan aktif di dalamnya. Ia mulai melakukan investigasi berbagai kasus, tetapi pada saat ia menulis ia merasakan keberpihakan pada kasus masyarakat yang lemah dan terintimidasi. Namun, hal tersebut belum kuat untuk menetapkan hatinya, hingga suatu saat ia bertemu dengan seorang teman yang berpihak pada kaum miskin kota. Ia juga berjumpa dengan Mbah Narso yang konsen dengan isu-isu HAM 65, karena Didik yang mempunyai dasar jurnalistik, dari situlah terciptanya kerja sama, dan pada akhirnya mendirikan SekBer ’65. Tahun 1987, SekBer ’65 bernama Sekertariat Bersama Korban ’65 yang di bawah payung dari lembaga bantuan hukum di Solo.

Kedekatan para simbah dengan Didik memberikan bantuan yang sangat mendalam bagi para simbah. Pada saat Didik keluar dari lembaga bantuan hukum, para si mbah bingung bagaimana ia ke depan dalam memperjuangkan haknya. Di titik tertinggi, 8 wilayah dari Jawa Tengah menginginkan mandiri/ memisahkan diri dari 14 pos wilayah dari daerah Jawa Tengah. Kedelapan wilayah ini terdiri dari Solo, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, dan Magelang. Tahun 2012,  SekBer mengadakan Kongres dan terbentuklah dengan nama baru, yaitu SekBer ’65. SekBer tidak hanya beranggotakan korban 65, tapi keluarga dan orang-orang diluar korban yang berempati pada atau mendorong proses penyelesaian, khususnya dengan mekanisme rekonsiliasi.

Wilayah SekBer ’65 meliputi Solo, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, dan Magelang. Dalam menghidupi organisasi tidak ada modal tetap. Uang untuk menghidupi organisasi didapat pada saat Didik dan Mbah Narso menjadi pembicara di beberapa tempat. Uang dari menjadi narasumberlah untuk dipakai organisasi. Jika tidak menjadi narasumber, mereka akan melakukan saweran/iuran untuk menghidupi organisasi. Didik muda sempat ingin bekerja di salah satu stasiun televisi di Jakarta sebagai jurnalis, tetapi harapan itu ia urungkan karena para si mbah menangis tersedu-sedu tidak mau ditinggal. Karena siapa lagi yang mau mengurus para si mbah?

Perjumpaan Didik yang pada saat itu menjadi ketua jaringan dokumentasi bersama 65 dengan Direktur Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) saat itu yang menjabat Anik Wusari,  itulah momen pertama kali perkenalan dimulai pada acara Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Kerja sama dengan IKa untuk pertama kalinya terjalin pada suatu program di tahun 2014. Dan kerja sama ini kembali terjalin pada Voice dengan program #bettertogether yang dimulai di akhir tahun 2021 hingga sekarang.

Didik menjadi Kartini bagi para pendamping di SekBer. Tiga puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi dan tetap konsisten dalam melakukan pendampingan (mengurusi si mbah), karena tidak semua para si mbah mempunyai keluarga. Ada si mbah yang mempunyai keluarga tetapi anaknya acuh karena ia merasa malu mempunyai orang tua dengan tuduhan anggota 65. Ada yang tidak peduli karena turunan dari tuduhan PKI tidak bisa menjadi PNS pada saat bekerja. Ada pula si mbah yang hidupnya sebatang kara. Hal itulah yang membuat Didik tetap bertahan menjadi pendamping.

Bekerja dan memperjuangkan hak para lansia pada saat berbicara dengan orang lain sangat susah sekali, tutur beliau.  Mereka memberikan stigma, belum lagi para si mbah takut berbicara, baik ke orang lain maupun ke keluarga sendiri, bahwa mereka korban yang dikirim ke Pulau Buru, Nusakambangan. Padahal, yang perlu dilakukan secara terukur yaitu terbuka dengan keluarga, terbuka dengan masyarakat, dan menyampaikan informasi yang benar bahwa dirinya sebagai korban. Para korban yang sudah terstigma secara politik belum lagi pada saat membahas persoalan 65 untuk menyelesaikan persoalan tersebut sangat susah karena mereka/orang yang mau berbicara tentang 65 takut dicap PKI/ komunis. Perlu memutar otak bagi Didik untuk menyelesaikan persoalan tersebut, sehingga munculah ide berbicara isu pelanggaran HAM masa lalu bukan dari sisi ’65, tetapi  dari sisi kemanusiaan, bahwa ada orang tua yang miskin, terlantar, tidak punya apa-apa, orang terbuang, orang nomor dua. Jadi dari situlah sisi kemanusiaan itu yang diraih baru empati akan muncul dari pribadi masing-masing orang.

Namun, walaupun sisi kemanusiaan dapat diraih, tetapi tetap ada tantangan tersendir. Tidak hanya dari eksternal tetapi juga dari internal seperti semua lansia di atas 65 tahun mereka lemah miskin, jarak geografis jauh jadi apabila ada pertemuan simbah yang rumahnya jauh dia akan datang kalau dia sehat dan mempunyai ongkos, belum lagi masih banyak kecurigaan dari masyarakat, aparat masih mengintai, di perempatan jalan di Solo masih ada banner tentang PKI, tetapi di masa pandemi  ini banner tersebut sudah berkurang, dan masih banyak lainnya

Selain tantangan juga ada capaian sampai saat ini yang diperoleh, seperti Didik aktif berjejaring dengan siapapun sehingga banyak keuntungan yang diperoleh pada saat berjejaring secara baik-baik dan melalui rekonsiliasi. Dari sini terlihatlah pencapaian seperti pemberian Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) dari Komnas HAM  menjadi pembersih karena negara menyatakan telah terjadi pelanggaran pada korban dengan nama, alamat yang berdomisili, yang kedua SekBer menerima buku hijau kisaran 1.500 yang nantinya buku ini diperuntukan bagi para simbah untuk berobat gratis di Rumah Sakit, Pemkot Surakarta memberi bantuan seperti PKH BLT  2 bedah rumah kepada para si mbah.

Pendampingan hingga kini masih dilakukan oleh Didik serta tim dari SekBer, yang tadinya Didik turun ke wilayah kini ia melakukan pertemuan rutin sebulan sekali dan pertemuan lagi kalau ada asesmen dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dan yang turun ke lapangan dan melakukan visit ke rumah-rumah kini tim dari SekBer. Tapi, tetap para antusias para simbah patut diapresiasi semangatnya karena lansia yang hadir jika melakukan pertemuan sekitar 25 orang dari 40 lansia.

Tidak ada duka yang dirasakan oleh Kartini Solo itu, karena ia merasa bahagia di setiap momen kebersamaan dengan para simbah. Karena baginya kemanusiaan, rasa cinta kasih sayang ke mereka adalah sebuah keharusan yang dilakukan dan ia tidak lupa hal kebaikan yang dilakukan merupakan bagian dari iman kepada Tuhan.

Harapan untuk para simbah baginya yaitu, agar simbah selalu sehat, tetap kuat, karena perjuangan belum selesai. Dan untuk tim SekBer ’65 ini, terima kasih sudah menjadi bagian dari keluarga SekBer jangan lemah harus semakin kuat, karena organisasi kuat akan sangat membantu para simbah.

Dialah perempuan Kartini di Era Modern bagi para Lansia di Jawa Tengah, melalui kepedulian dia beserta tim SekBer ’65 banyak para si mbah yang terbantu untuk menikmati masa tuanya walaupun perjuangan belum usai, tidak sedikit pula simbah yang sudah mendahului dipanggil oleh Tuhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!