Mendorong FAJAR dalam Lanskap Bantuan dan Sumber Daya

Selama bertahun-tahun, lanskap bantuan global telah dibentuk oleh dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, menggemakan sisa-sisa praktik kolonial. Hari ini, kebutuhan akan perubahan tak bisa disangkal. Karenanya, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bergabung dalam perjuangan ini, didorong oleh keyakinan bahwa sudah waktunya untuk mempertanyakan status quo.

Indonesia telah lama menjadi penerima bantuan internasional. Bantuan yang sering kali berasal dari negara-negara maju telah memainkan peran penting dalam mengatasi masalah-masalah kritis, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, mereka juga telah mempertahankan narasi yang memprihatinkan, yang telah memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan global.

Menyadari urgensi perubahan narasi ini, IKa memulai Forum Belajar Sumber Daya Baru (FAJAR). Inisiatif ini berfungsi sebagai wadah diskusi yang bertujuan untuk membentuk ulang lanskap bantuan dan sumber daya di dalam Indonesia. Misi FAJAR adalah untuk mendorong perkembangan sumber daya yang beragam, adil, dan berkelanjutan di Indonesia, sehingga memperbarui pola bantuan yang selama ini bersifat hierarkis. FAJAR bukanlah usaha yang berdiri sendiri; ini adalah bagian dari gerakan global yang lebih luas, Shift The Power. Gerakan ini mengupayakan pendekatan bantuan yang lebih seimbang, yang menghargai pengetahuan, pandangan, dan kepemimpinan komunitas penerima bantuan. Dengan dukungan dari Global Fund for Community Foundations (GFCF), FAJAR bertekad untuk memperkuat suara dan pengalaman Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (OMS) dalam hal bantuan dan sumber daya.

Diskusi perdana FAJAR berlangsung secara virtual pada tanggal 20 September 2023. Turut hadir sebagai pembicara adalah Dylan Mathews, CEO Peace Direct; Kamala Chandrakirana, Ketua Dewan Pembina IKa; dan Lian Gogali, Pendiri Institute Mosintuwu.

Di hari pertamanya, FAJAR membicarakan dekolonisasi bantuan yang mengupas dinamika hubungan kekuasaan dalam pengejaran sumber daya yang adil dan berkelanjutan di tingkat internasional, nasional, dan lokal. Apa yang terjadi adalah dialog mendalam yang mengungkap kompleksitas dari sebuah sistem yang tidak seimbang. Terdapat kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem internasional, yang sering mengabaikan organisasi lokal. Wawasan yang muncul dari diskusi mengungkapkan alasan-alasan umum yang digunakan untuk mempertahankan status quo, mulai dari mempertanyakan kapasitas organisasi lokal hingga prasangka buruk akan integritas organisasi lokal.

Meskipun bantuan ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial, terkadang ia malah berdampak buruk bagi komunitas yang ingin dilayani. Penting untuk diakui bahwa bantuan sering dipandang sebagai tindakan amal, sebuah gestur yang dilakukan dengan niat baik, daripada sebagai upaya untuk mencapai keadilan sosial. Pandangan ini telah secara mendalam memengaruhi model-model bantuan yang ada. Dalam sudut pandang ini, penerima bantuan seringkali dianggap tidak memiliki kekuatan.

Model-model bantuan ini tanpa disadari telah berkontribusi pada pengikisan pengetahuan lokal. Pengikisan ini dapat terlihat dalam mekanisme-mekanisme bantuan itu sendiri, aspek-aspek proseduralnya, dan fokus tematik dari berbagai program, seperti pelatihan dan lokakarya yang tidak relevan dengan apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan komunitas dengan situasi uniknya. Kerangka kerja bantuan yang ada beroperasi dengan asumsi bahwa penduduk lokal memiliki pengetahuan yang tidak mencukupi atau tidak relevan. Kearifan lokal secara konsisten dikesampingkan, dianggap tidak penting.

Pusat dari diskusi ini adalah konsep dekolonisasi, sebuah istilah yang belum sepenuhnya diterima secara universal, tetapi tidak bisa disangkal memiliki peranan penting dalam menggambarkan transformasi yang diperlukan dalam praktik bantuan. Dekolonisasi, dalam konteks ini, melampaui kritik terhadap kekuatan kolonial masa lalu. Ini tentang membongkar pandangan dunia neo-kolonial, yang menggambarkan Global Utara sebagai pemilik pengetahuan sementara menggambarkan Global Selatan sebagai tak berdaya.

Meskipun diskusi ini menyoroti masalah-masalah yang tampaknya mengakar jauh, namun ia juga menginspirasi harapan dan seruan untuk bertindak. Seperti yang ditekankan, dekolonisasi melibatkan pengakuan rasisme sebagai masalah dan membongkar sikap neo-kolonial. Ini menuntut transformasi menyeluruh dalam sektor ini.

Pelokalan (localization) dianggap sebagai langkah yang tepat, dengan tujuan untuk mentransfer lebih banyak dana secara langsung kepada organisasi lokal. Namun, kritik mulai muncul, berpendapat bahwa hal ini lebih banyak berbicara tentang metrik dan mekanisme pendanaan daripada mengatasi dinamika kekuasaan dan rasisme struktural. Padahal, fokus seharusnya berada pada berinvestasi ke dalam organisasi lokal daripada sekadar mengubah inisiatif yang sudah ada menjadi format yang lebih lokal.

Namun, transformasi ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Inersia birokrasi besar dan ketidakpastian mengenai arah yang harus diambil telah menyebabkan sejenis kebuntuan dalam sektor ini. Tantangannya sekarang adalah menerjemahkan niat menjadi tindakan yang berarti. Sudah jelas bahwa pembicaraan tentang bantuan dan dekolonisasi tidak boleh dimonopoli oleh organisasi Global Utara. Organisasi Global Selatan juga harus memiliki suara dalam membentuk narasi ini.

Diskusi berlanjut pada hari kedua, tanggal 21 September 2023, untuk mengumpulkan perwakilan dari Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK), Yayasan Bina Swadaya, Mama Aletha Fund, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Roemah Inspirit, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Di tengah-tengah wacana yang rumit ini terdapat pertanyaan mendasar: saat saluran-saluran baru untuk mengakses sumber daya muncul, bagaimana pengaruhnya terhadap otonomi dan agensi organisasi-organisasi?

Selama berlangsungnya diskusi-diskusi, berbagai pengalaman dan strategi yang beragam muncul. Beberapa telah menjelajahi menjadi perintis dalam usaha-usaha sosial dan penggalangan dana publik. Lainnya menjalani jaringan yang kompleks dari pendanaan donor global.

Bagi organisasi masyarakat sipil yang berorientasi pada advokasi, mendapatkan dana dari donor asing bisa menjadi upaya yang sulit. Hubungan kekuasaan asimetris yang melekat dalam proses ini seringkali berarti berurusan dengan pengaruh dan intervensi eksternal. Bahkan, syarat-syarat yang tertanam dalam perjanjian kontraktual dapat digunakan sebagai alat intervensi oleh para donor. Hal ini membuat OMS harus berjalan di atas tali yang rapuh antara memenuhi misi mereka dan mematuhi harapan-harapan eksternal. Mereka juga berisiko dituduh sebagai agen asing yang melayani kepentingan pemerintah asing.

Transisi ke bisnis sosial yang menjanjikan jalan untuk keberlanjutan ternyata memerlukan pengembangan keterampilan baru. Di luar ranah sosial, mengelola bisnis dan memasarkan produk membutuhkan keahlian yang berbeda. Harmonisasi dari dua jalur yang tampaknya berbeda ini menjadi krusial bagi OMS yang ingin menggapai kemampuan keuangan dan dampak sosial.

Pada intinya, diskusi FAJAR mengungkapkan sebuah refleksi mendalam: kekuasaan dan sumber daya adalah pasangan yang tak terpisahkan. Meskipun lanskap akses sumber daya bagi organisasi masyarakat sipil terus berkembang, kebutuhan kritis akan kewaspadaan tetap ada. Lonjakan saluran-saluran baru harus disambut dengan bijaksana untuk memastikan bahwa kedaulatan organisasi tidak tergerus, melainkan diperkuat.

Dialog yang memikat ini bukan hanya eksplorasi pengalaman masa lalu dan tantangan saat ini; ini adalah refleksi bersama tentang masa depan. Ini adalah pengakuan bahwa transformasi ekosistem bantuan harus berjalan seiring dengan penyegaran manajemen sumber daya. Dinamika kekuasaan harus bergeser, dan organisasi masyarakat sipil harus diberdayakan untuk mengarahkan takdir mereka sendiri. Proses ini dipenuhi dengan kompleksitas, tetapi dalam kompleksitas tersebut terdapat benih-benih perubahan. Dunia bantuan sedang berkembang, dan dalam evolusi ini, terdapat harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

2 thoughts on “Mendorong FAJAR dalam Lanskap Bantuan dan Sumber Daya

  1. Bagaimana mendapatkan bantuan untuk kelompok masyarakat yg ada di kampung-kampung?

    1. Halo selamat siang Kak Yohanes..
      Terkait dengan bantuan hibah, silakan untuk mengirimkan proposal apabila kami sedang membuka pembukaan hibah. Dan tentunya isu yang diangkat sesuai dengan kerja-kerja yang ada di Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!