‘Fakduk pa ite falcilno
Fakduk e ite faisayang’
(Tak bertemu kita saling mengingat, dan
jika bertemu kita tetap saling menyayang)
Kalimat diatas terlontar dari Kak Awaluddin Iksan, anggota Perkumpulan Fakawele pada malam perkenalan pertemuan Dialog Temu Kenali Akar Daya Gerakan Masyarakat Sipilyang berlangsung dari tanggal 4 s.d 7 November 2024 di Ke:Kini Ruang Bersama, Jl. Cikini Raya No.43, Jakarta. Perkumpulan Fakawawele yang berasal dari Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara, bersama lima lembaga lainnya: Wangsakerta (Cirebon, Jawa Barat), Komunitas Ibu Jamu (Sragen, Jawa Tengah), Komunitas Taman 65 (Denpasar, Bali), Yayasan Wisnu (Badung, Bali), PERMIN (Nanga, Banga, Kendari, Sulawesi Tenggara) berkumpul dan bereksperimen guna menemukenali sumber daya transformatif atau Akar Daya.
Eksperimen ini merupakan respon Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) terhadap Penyempitan ruang masyarakat sipil (shrinking civic space) yang terjadi di seluruh dunia juga menjadi tantangan bagi keberlanjutan gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Bersama CIVICUS & Local Leadership Labs (LLL, IKa bereksperimen Akar Daya yang berdasar pada upaya kolektif dan kolaboratif dalam membangun kemandirian, keberlanjutan dan resiliensi gerakan masyarakat sipil, melalui pengembangan sumber daya gerakan.
Dengan semangat kolektif dan kolaboratif ini, IKa mengajak kawan-kawan enam dari komunitas tersebut yang dipandang memiliki beberapa hal penting untuk menjalankan eksperimen bersama, yaitu memiliki nilai perjuangan komunitas yang berakar pada pemberdayaan masyarakat, pelestarian budaya, dan keberlanjutan lingkungan, memiliki keresahan dan keinginan untuk mengelola sumber daya secara mandiri dan berkelanjutan, juga terhubung dalam ekosistem gerakan organik yang saling mendukung dan memperkuat misi kolektif gerakan masyarakat sipil.
Malam perkenalan menjadi sebuah momen yang mencairkan suasana dan banyak meninggalkan kesan terutama karena semua peserta berkesempatan untuk menjelaskan tentang lembaga masing-masing dengan cara unik. Misalnya Komunitas Ibu Jamu yang tanpa malu-malu langsung menawarkan jamu hasil para Ibu anggota komunitas saat menjejakkan kaki di tempat pertemuan. Yayasan Wisnu dan Komunitas Taman 65 juga membawa special item sebagai identitas lembaga. Hal ini tentu mendapatkan tanggapan positif dari tim IKa dan peserta pertemuan. IKa pun memberikan ruang bagi kawan-kawan untuk melakukan fundraising dengan menawarkan produk masing-masing dengan harga terjangkau. Selain itu, lembaga-lembaga pun memperkenalkan diri dengan cara khas masing-masing, salah satunya Perkumpulan Fakawele yang membuka perkenalan dengan kutipan mendalam di awal tulisan ini. Malam perkenalan pun menjadi semakin riuh.
Dialog dimulai dengan sesi refleksi bersama Roem Topatimasang, pendiri Indonesian Society for Social Transformation (INSIST). Ia menekankan bahwa transformasi sosial membutuhkan perubahan pola pikir, terutama terkait kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya seperti pangan, energi, dan air. Roem juga mengkritik program ekonomi masyarakat sipil yang kerap gagal karena terlalu menyederhanakan kemandirian ekonomi menjadi sekadar menghasilkan uang. Ia mengajak peserta untuk melihat kembali nilai dan cara pandang mereka terhadap kebutuhan dan hubungan dengan manusia maupun alam.
Pembicara berikutnya, Kamala Chandrakirana atau Mbak Nana, memperkenalkan konsep “Pancaroba” sebagai perumpamaan atas kondisi ruang gerak masyarakat sipil yang menyempit akibat situasi global, nasional, dan lokal yang tidak menentu. Ia menekankan pentingnya kemandirian dari ketergantungan donor serta kolektivitas untuk menguatkan Akar Daya.
Direktur Eksekutif IKa, Sita Supomo, memperkenalkan konsep Catur Daya, yang mencakup pendanaan, pengetahuan, jaringan, dan kerelawanan. Kerangka ini menjadi dasar strategi IKa dalam mendorong komunitas untuk mengelola sumber daya secara mandiri dan menciptakan kedaulatan.
Proses ini dilanjutkan dengan aktivitas menggambar “Sungai Kehidupan,” sebuah refleksi visual atas perjalanan pribadi dan kolektif komunitas. Peserta juga diajak menggunakan pendekatan Asset-Based Thinking, yang fokus pada potensi dan kekuatan yang sudah dimiliki, seperti pengalaman, pengetahuan, dan hubungan. Pendekatan ini memungkinkan komunitas untuk melihat peluang dalam mengembangkan gerakan secara berkelanjutan. Sebagai bagian dari refleksi ini, Risma dari PERMIN menekankan pentingnya ilmu yang luas dan fleksibel untuk diaplikasikan di berbagai konteks.
Eksperimen Akar Daya menjadi langkah awal IKa dan komunitas untuk menciptakan peta jalan baru, menata ulang kesadaran kolektif, dan membangun masa depan gerakan masyarakat sipil yang mandiri dan inklusif.