Upacara Adat Sebagai Media Untuk Berdamai Dengan Masa Lalu

Sikka merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lima puluh tahun silam, Sikka tidak luput dari tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965/1966.  Terjadi pembantaian sesama umat Katolik yang berlangsung selama empat hingga lima bulan. Tentu kejadian itu masih sangat lekat di ingatan masyarakat Kabupaten Sikka, salah satunya komunitas adat Tana Ai (orang dari tanah hutan). Banyak dari mereka yang masih memiliki rasa marah dan terluka, serta sulit untuk menjalani hidup bermasyarakat. Terlebih lagi, mereka yang menjadi korban pembunuhan, ditangkap tanpa proses pengadilan dan harus melakukan kerja secara paksa.

Stefanus Porang merupakan anak salah satu korban tragedi tersebut. Ada perasaan sedih, marah, dan terluka karena ayahnya dibunuh. Begitu pula dengan Ignatius Soge, mempunyai rasa takut, bersalah, dan berdosa, lantaran ayahnya telah membunuh. Ingatan masa lalu masih melekat di dalam hati masing-masing. Padahal mereka hidup berdampingan dan sebagian besar mempunyai hubungan tali persaudaraan. Tentu saja, hal ini mengakibatkan beban sosial yang tak ringan. Mereka tidak mempunyai ruang untuk bersuara dan menyembuhkan luka selama lebih dari 50 tahun.

Berpuluh-puluh tahun mereka menanggung trauma dan distigma sebagai “orang sisa”. Hingga tahun 2017, lewat sebuah upacara adat, mereka berdamai dan membangun rekonsiliasi. Adalah ritual adat Gren, tradisi tua Tana Ai yang tak pernah dilakukan setelah peristiwa 1965, merupakan proses pengakuan kesilapan dan penyucian diri. Ritual adat ini dilakukan oleh salah seorang anak di mana orang tuanya pernah menjadi pelaku dalam peristiwa 1965/1966. Pelaksanaan ritual adat ini menunjukan bahwa masyarakat telah menerima, mengampuni, dan memaafkan tradegi kemanusiaan 1965/1966 yang dilakukan oleh orang tua mereka dan bertindak sebagai pelaku. Insiden ini hanya terjadi di ruang adat dan budaya.

Melalui ritual ini juga, Rafel Rapa mengaku kembali bersatu, mengakui kesalahan, dan saling memaafkan antara satu dengan yang lainnya. Ignatius Nasi, saudara kandung dari Ignatius Soge, mengaku sejak peristiwa 1965/1966 merasa hidupnya tidak nyaman. “Ekonomi sulit, ternak banyak mati, saya sakit-sakitan. Saya sudah berusaha mencari penyebabnya tetapi belum dapat,” ungkapnya. Setelah mengikuti upacara adat tersebut, ia mengaku merasa lebih lega. “Acara ini buat saya sangat penting. Saya bisa mengaku dosa atas perbuatan di masa lalu. Rasa bersalah di pihak pelaku terhadap siapapun sudah aman sekarang,” imbuhnya. Ritual ini mendapat banyak dukungan dan dihadiri oleh ratusan komunitas yang ada di wilayah Tana Ai. Selain itu, tokoh masyarakat dan beberapa pejabat pemerintah Kabupaten Sikka turut hadir dan memperbaiki kembali hubungan antara keluarga korban dan pelaku yang sebelumnya renggang.


Artikel ini disadur dari buku “Para Pembuka Jalan” terbit tahun 2019

Penulis buku: Lilik HS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!