Di lorong-lorong kampus FISIP Universitas Sebelas Maret, beberapa mahasiswa memandang jajaran foto yang terpasang di sudut-sudut. Foto-foto yang menunjukan kisah pada korban/penyintas yang masih berjuang meniti jalan penuh belukar untuk mendapat keadilan dan perlakuan setara dalam ruang pembangunan. Terdapat tujuh narasi dari tujuh wilayah berbeda dari pameran foto tersebut, dari komunitas korban di Aceh Utara, Lampung Timur, Jakarta, Surakarta, Palu, dan Sikka.
Foto-foto tersebut menceritakan kisah yang tidak banyak mahasiswa ketahui dan dapatkan. Cerita mengenai peluh keringat, air mata, dan darah yang telah tertumpah bisa dilakukan dengan berbagai cara agar cerita ini bisa diteruskan kepada generasi yang akan datang. Tentu saja ini adalah hal yang penting agar peristiwa serupa tidak kembali terulang.
Satu narasi yang banyak mengundang perhatian adalah Ketika Negara Menyapa yang mengangkat cerita penyintas tragedi politik 1965 di Solo, tentang upaya penyintas untuk mengakses layanan medis dan psikososial dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), setelah sebelumnya mendapatkan Surat Keterangan Korban dari Komnas HAM. Pengakuan ini hadir melalui “Buku Hijau” yang dikeluarkan LPSK dan menjadi satu penanda bahwa negara hadir dan para penyintas merasa diakui dan dimanusiakan seperti warga negara lainnya.
Banyak orang mengatakan bahwa anak muda melupakan sejarah pelanggaran berat HAM, tapi rasanya hal itu kurang tepat. Ini bukan soal melupakan, tapi soal banyaknya hal yang tidak diungkapkan kepada anak muda terkait pelanggaran HAM masa lalu.
“Jujur ya, saya baru mengetahui bahwa pelanggaran berat HAM itu sangat dekat dengan kehidupan saya saat kuliah. Itu pun karena saya terlibat aktif dalam berbagai diskusi yang ada di organisasi saya. Beruntunglah saya, tapi bagaimana dengan anak muda lain yang tidak seberuntung saya?” ungkap Erma Alfionita, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sosiologi UNS.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa anak muda selalu dicekoki oleh narasi-narasi sejarah yang dibuat oleh pemerintah, terutama pemerintahan di masa silam. Narasi tersebut tidak membicarakan tragedi-tragedi kemanusiaan dari sisi korban yang mengalami. Tidak ada pembahasan menyeluruh di buku sejarah mata pelajaran sekolah.
Penting untuk terus mewariskan cerita ini kepada anak muda agar tragedi yang telah terjadi tidak terulang, serta mereka yang masih hilang atau sudah berpulang bisa tetap dikenang. Upaya penyebarluasan kesadaran akan hak asasi manusia juga telah berkembang semakin beragam cara dan pihak-pihak yang terlibat, terutama anak muda, pegiat seni, akademisi, kelompok budaya dan komunitas korban/ penyintas. Inilah yang dilakukan oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bekerja bersama-sama dengan berbagai organisasi korban/ penyintas maupun organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam Program Peduli.
Program Peduli adalah sebuah program pengentasan kemiskinan yang menggunakan pendekatan pembangunan inklusif untuk memastikan kelompok masyarakat marginal yang tidak terjangkau juga dapat terlibat dan mendapat manfaat dari pembangunan. Program Peduli bekerja dengan dan untuk orang-orang terpinggirkan di seluruh Indonesia untuk mendukung mereka mengakses layanan publik, keadilan dan peluang ekonomi. Dalam Program Peduli, IKa berperan sebagai menjadi mitra payung bagi komunitas korban pelanggaran berat HAM di antaranya adalah: Korban Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Korban Tragedi 1965/1966 di Yogyakarta, Surakarta, dan Sikka, Korban Talangsari – Lampung, dan Korban Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Oleh karena itu, dalam rangkai mengestafetkan cerita-cerita ini dan memperingati hari HAM internasional, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), bersama FISIP UNS dan Komnas HAM, dengan dukungan Program Peduli mengadakan kegiatan bertajuk “Melaung Hak Asasi Manusia bersama Sivitas Akademika UNS” pada 26-27 November 2019.
Kegiatan ini juga menjadi salah satu perwujudan mandat Komnas HAM untuk pemajuan hak asasi manusia di Indonesia karena pada 1 November 2018, Komnas HAM telah melakukan Penandatanganan Nota Kesepahaman dengan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS). Penandatanganan kerjasama dilakukan oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Rektor UNS Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. Kerjasama ini dilakukan untuk mendorong pemajuan HAM melalui Tridharma Perguruan Tinggi, guna terwujudnya penguatan, pelaksanaan, perlindungan dan penghormatan HAM serta untuk memperkuat sinergisitas hubungan kelembagaan antara kedua belah pihak melalui kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Selain menyebarkan cerita perjuangan dan penguatan komitmen dalam penyelesaian permasalahan HAM, acara ini juga bertujuan untuk mempertemukan konsep dan praktik Hak Asasi Manusia dan inklusi sosial di kalangan sivitas akademika dengan berbagai kegiatan seperti seminar publik, paralel workshop, pameran foto, pentas musik, pemutaran film dan napak tilas sejarah reformasi 1998.
Membuka Ruang Lintas Generasi
> “Kita bisa mengetahui pelanggaran berat HAM melalui buku, tapi tentu saja akan berbeda jika kita bisa bertemu dan berdiskusi langsung dengan para penyintas dan pejuang kemanusiaan” ucap Erma.
Mempertemukan anak muda dengan aktor sejarah menjadi tujuan utama acara ini. Membuka ruang untuk saling berdiskusi tentunya akan meningkatkan kepedulian anak muda terhadap berbagai permasalahan HAM yang ada di Indonesia, baik di masa lalu, masa kini, dan di kemudian hari. Mempertemukan antar generasi bisa merawat ingatan yang mungkin terus terkikis dihajar narasi-narasi lama yang coba digaungkan kembali oleh pemerintah.
Melalui talkshow Hak Asasi Manusia dan Inklusi Sosial di Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan kita berbagi bahwa isu HAM adalah sesuatu yang dekat dan dinamis. Sehingga perlu ada pembacaan mengenai cara kita bisa terus merawat HAM di tengah pergolakan politik yang ada di Indonesia.
Setelah talkshow selesai diselenggarakan, acara dilanjutkan dengan penandatanganan kerjasama antara FISIP UNS dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia tentang Kerjasama Pemajuan Hak Asasi Manusia melalui Program Melaung Hak Asasi Manusia Bersama Kaum Muda Universitas Sebelas Maret. Nota kerjasama tersebut ditandatangani oleh Dekan FISIP UNS, Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si dengan Komisioner Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara.
Melalui workshop paralel dengan berbagai pendekatan mengenai permasalahan HAM di Indonesia bisa berbagi cerita lebih dalam mengenai isu HAM sesuai bidang masing-masing. Mulai dari kekerasan terhadap perempuan, pendekatan budaya dalam isu HAM, Pers Mahasiswa dan HAM, pendidikan HAM, dan visual literasi dalam perspektif HAM.
Melalui Pentas Seni Dua Jam Harmoni HAM kita berbagi pendekatan dalam mengkampanyekan isu HAM melalui seni, terutama musik yang dekat dengan kehidupan anak muda. Pentas seni ini menampilkan Komunitas Musik Fisip UNS, Nganthi Wani X Julian Rinaldi, Sisir Tanah dan Bonita & Adoy. Tidak hanya bersenang-senang, dalam acara ini juga banyak mahasiswa yang secara langsung berdiskusi dengan para penyintas yang hadir untuk menikmati musik bersama-sama.
Melalui pemutaran dan diskusi film “Istirahatlah Kata-kata”, kita berbagi cerita mengenai satu babak kehidupan penyair dan aktivis asal Solo, yang menjadi korban penghilangan paksa 1997/1998. Diskusi paska pemutaran film diisi oleh Yulia Evina Bhara (produser), Tonny Trimarsanto (sineas) dan Zaenal Muttaqien (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia).
Terakhir, melalui Napak Tilas reformasi 1998, sebuah kegiatan untuk menelusur dan mengenal beberapa tempat/ lokasi/ titik di mana pada reformasi 1998 telah menjadi penanda terjadinya peristiwa-peristiwa penting yang mendorong reformasi 1998, kita berbagi cerita sejarah dengan melakukan kunjungan langsung. Napak Tilas ini adalah sesuatu yang baru untuk seluruh peserta yang mengikuti kegiatan ini karena mahasiswa bisa mengunjungi langsung situs sejarah reformasi di Solo.
“Acara napak tilas ini asik banget karena bisa jalan-jalan sambil mengunjungi lokasi bersejarah di Solo. Selama ini kita kan selalu tahu sejarah dari buku, dengan adanya napak tilas ini, kita kan bisa belajar sejarah dengan cara lain yang lebih asik secara langsung.” Cerita Naufal Amar, salah satu peserta Napak Tilas Reformasi 1998.
Selain mahasiswa, kegiatan Melaung HAM ini juga dihadiri mitra Program Peduli, terdapat lima mitra yang hadir, yakni Federasi IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), FOPPERHAM (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia), RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan) Aceh, SEKBER ’65 Jawa Tengah (Sekretariat Bersama), dan PBH Nusra (Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara). Selain itu, dari Solo dan Yogyakarta juga hadir para penyintas yang turut berbagi cerita pengalaman hidup mereka.
Setelah Ruang Terbuka, Lalu Apa?
Membuka ruang diskusi lintas generasi, ibarat memberi kunci pada satu generasi. Kita tidak akan pernah bisa menduga apa yang akan terjadi karena mereka memiliki imajinasi tersendiri. Mereka bisa menggunakan kunci itu untuk membuka banyak pintu yang menghamparkan banyak informasi. Mereka bisa mengajak teman-temannya untuk berbagi kunci untuk membuka pintu yang terjebak dalam sunyi. Mereka juga bisa menduplikasi kunci yang telah diberi, menyebarkannya hingga cerita ini tidak akan pernah mati. Apa yang terjadi selepas Melaung HAM berakhir di UNS tentu di luar ekspektasi kami. Menurut keterangan Erma, banyak mahasiswa Jurusan Sosiologi akhirnya menjadikan isu HAM, khususnya pelanggaran berat HAM masa lalu, sebagai topik penelitian mereka dalam membuat skripsi dan artikel ilmiah. Serta, Fakultas Ilmu Budaya di UNS, yang mengadakan diskusi mengenai pelanggaran berat HAM masa lalu dan mengundang pejuang kemanusiaan, seminggu setelah