Mengembangkan Konsep Sumber Daya Transformatif, Pendekatan Ekonomi Solidaritas:  Sebagai Sarana Ekonomi dan Tujuan Gerakan Sosial Politik

Forum Belajar Sumber Daya Baru ke lima (FAJAR #5) berlangsung pada Rabu, 5 Juni 2024 dengan tema:”AKAR DAYA: Mengembangkan Konsep Sumber Daya Transformatif, Pendekatan Ekonomi Solidaritas:  Sebagai Sarana Ekonomi dan Tujuan Gerakan Sosial Politik. Forum yang berlangsung secara daring ini menghadirkan aktivis dan penggerak gerakan sosial yang sudah menerapkan pendekatan ekonomi solidaritas guna memastikan keberlanjutan gerakan sosial yang sedang dilakukan masing-masing. Dina Lumbantobing dari Perkumpulan Sahda Amo (Pesada) Sumatera Utara, Romlah dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Jakarta Timur, Stefanus Masiun dari Credit Union (CU) Keling Kumang, Pontianak, Kalimantan Barat, Ngurah Termana dari Taman 65, Bali hadir sebagai pembicara selain juga Komunitas Pemberdaya, Pengurus serta Badan Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa). Kamala Chandra Kirana juga hadir sebagai fasilitator.

Forum Belajar Sumber Daya Baru (FAJAR) adalah ruang belajar untuk mengembangkan konsep sumber daya transformatif bagi gerakan sosial, merespon penyempitan ruang gerak masyarakat sipil. Forum sudah berlangsung sejak akhir 2023 ini mendiskusikan lima isu utama: aset, pemanfaatan, pengembangan, ekosistem, keberlanjutan, dan penyebaran inisiatif ke komunitas lain. Salah satu pendekatan alternatif yang sangat relevan dan penting dalam ruang perbincangan dan pencarian sumber daya transformatif tersebut adalah bagaimana menemukan, membangun dan merawat keberlanjutan gerakan masyarakat sipil yang berbasis pada pendekatan ekosistem sosial ekonomi yang berlandaskan pada asas saling percaya, saling merawat dan saling bahu-membahu (solidaritas). Bagaimana pendekatan, model dan praktik ekonomi solidaritas seperti koperasi atau alternatif lainnya dapat menjadi sarana ekonomi untuk tujuan gerakan.

Dina Lumbantobing sebagai pembicara pertama membuka forum dengan cerita mengenai tantangan yang dihadapi saat bertemu dengan wilayah suku minoritas, Pakpak yang jarang dikenal di Sumatera Utara pada tahun 90-an dan melihat kemiskinan di sana  yang memengaruhi perempuan sehingga kemudian memulai pendekatan melalui program untuk anak-anak dan memperhatikan betapa berat beban perempuan dalam masyarakat. Dengan dukungan Ashoka dan pengalaman di Bina Swadaya, Dina mengedukasi perempuan tentang menabung, pengelolaan ekonomi, dan hak asasi manusia. Gerakan tersebut berkembang menjadi kelompok simpan pinjam dan Credit Union (CU), yang memberdayakan perempuan secara ekonomi dan politik. Kini, perempuan Pakpak terlibat aktif di politik lokal, dan gerakan ini terus berdampak positif di berbagai kabupaten.

Romlawati dari PEKKA berbagi pengalaman bagaimana awal aktivitas PEKKA yang dirintis oleh Nani Zulminarnsi. Bermula dari mendokumentasikan kehidupan perempuan kepala keluarga, para perempuan ini kemudian diajak berorganisasi, dan kegiatan simpan pinjam dipilih sebagai pintu masuk untuk memberdayakan perempuan yang sebagian besar sangat miskin. Simpanan awal yang sangat kecil  dan ternyata mengikat mereka sebagai perempuan kepala keluarga. Setelah melakukan kegiatan simpanan selama tiga bulan, simpanan tersebut bisa digunakan sebagai pinjaman, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Pada 2004, kelompok-kelompok simpan pinjam mulai bergabung di tingkat kecamatan hingga kabupaten. Pekka juga mengembangkan usaha grosir melalui PekkaMart untuk kebutuhan dasar anggota, dan di tahun 2016, Koperasi Artakarya dibentuk untuk membantu pemasaran produk ibu-ibu Pekka. Pekka membangun rantai pasok lokal dan mengadakan pasar-pasar yang tidak hanya menggunakan uang tetapi juga barter. Pekka menekankan ekonomi yang adil, mendukung pendidikan, dan advokasi kebijakan lokal yang mendorong kesejahteraan anggotanya.

Forum Belajar FAJAR 3: Mengupayakan Sumber Daya Baru dalam Gerakan Organisasi Masyarakat Sipil

Forum Belajar (FAJAR) 3 yang diselenggarakan oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) pada 6 Mei 2024, menarik perhatian banyak pihak yang peduli dengan gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Dengan tema “Akar Daya dan Urgensi Agenda Transformatif di Tengah Penyempitan Ruang Gerak Masyarakat Sipil,” forum ini menjadi wadah refleksi dan diskusi mengenai pentingnya menumbuhkan sumber daya baru yang transformatif untuk mencapai keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Bagian Pertama: Akar Daya dan Urgensi Agenda Transformatif

Kamala Chandra Kirana, Ketua Badan Pembina Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), menjadi narasumber utama yang memaparkan situasi ekonomi politik sumber daya organisasi masyarakat sipil (OMS). Dalam pemaparannya, Kamala menggarisbawahi ketergantungan OMS pada donor internasional, di mana 85% pendanaan OMS bergantung pada sumber luar negeri. Salah satu yang menjadi sorotan adalah ketimpangan alokasi dana, dengan 88% pendanaan hak asasi manusia mengalir ke negara-negara global utara, sementara Asia Pasifik hanya menerima sebagian kecil dari alokasi tersebut.

Kamala juga membahas inisiatif global seperti The Grand Bargain dan gerakan #ShiftThePower yang berupaya mengubah pola relasi kuasa dalam pendanaan OMS. Ia menekankan perlunya merefleksikan akar daya dan menemukan sumber daya selain dana, seperti jaringan, kerelawanan, dan pengetahuan yang menjadi bagian dari Catur Daya IKa.

Bagian Kedua: Cara Pandang Reflektif dan Kritis

Pada bagian ini, Kamala mengajak peserta FAJAR yang berasal dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Jakarta dan sekitarnya untuk merenungkan dan mencari pendekatan alternatif dalam mengupayakan sumber daya transformatif. Ia menyoroti pentingnya kesadaran kritis dalam menghadapi ketimpangan sistem pendonoran dan menekankan perlunya gerakan masyarakat sipil untuk merefleksikan akar daya mereka sendiri.

Kamala juga memperkenalkan Catur Daya IKa yang meliputi dana, jaringan, kerelawanan, dan pengetahuan. Menurutnya, ketersediaan dana tanpa didukung oleh sumber daya lainnya tidak akan efektif dalam mencapai dampak yang diinginkan. Ia mendorong gerakan masyarakat sipil untuk membongkar mindset mereka mengenai sumber daya dan menemukan jalan baru ke depan.

Bagian Ketiga: Berbagi Pandangan dan Praktik Baik

Proses belajar bersama dalam FAJAR 3 membuka ruang bagi peserta untuk berbagi pandangan, refleksi kritis, dan praktik baik mengenai pengelolaan sumber daya OMS. Diskusi interaktif ini menyoroti ketergantungan OMS pada donor internasional dan ketimpangan relasi kuasa yang terjadi. Peserta juga merefleksikan pentingnya kesadaran kritis dalam menghadapi tantangan ini.

Beberapa praktik baik yang dibahas termasuk pengorganisasian gerakan berbasis iuran anggota, peluang terkait keanggotaan Indonesia dalam G20 dan OECD, serta penggunaan platform digital untuk penggalangan dana. Ide untuk menumbuhkan lebih banyak intermediary organization juga muncul sebagai salah satu solusi untuk memperkuat sumber daya OMS.

Bagian Keempat: Konsensus FAJAR ke Depan

Pada bagian akhir, FAJAR 3 membahas konsensus mengenai waktu, proses, dan substansi isu/topik yang akan dibahas ke depan. Tiga hal substansi yang disepakati adalah pentingnya FAJAR sebagai ruang belajar bersama yang harus terus dilakukan, memfasilitasi berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui tulisan, dan mengumpulkan pengalaman kecil di tingkat lokal/desa.

Dalam hal proses dan waktu, disepakati bahwa FAJAR dapat diadakan setiap 2-3 bulan sekali dengan media pertemuan yang fleksibel, baik online maupun offline. Tempat dan lokasi penyelenggaraan dapat bergilir untuk memastikan keterlibatan jaringan dan komunitas akar rumput di luar Jakarta.

Forum Belajar FAJAR 3 berhasil menjadi platform penting untuk refleksi kritis dan berbagi pengetahuan dalam upaya mengatasi tantangan yang dihadapi oleh organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Dengan konsensus yang tercapai, diharapkan FAJAR dapat terus menjadi ruang bersama yang efektif untuk mengupayakan sumber daya baru yang transformatif demi keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!