
Natal adalah momen untuk berbagi kasih dan kepedulian dalam tindakan nyata. Dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), kami mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada para donatur atas dukungan mereka yang tiada henti bagi Si Mbah Penyintas ’65—para penyintas tragedi 1965 yang kini telah lanjut usia. Berkat donasi yang diberikan, kami dapat menyalurkan 97 paket bantuan dan santunan tunai kepada Si Mbah di Banyumas, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Banyak dari Si Mbah Penyintas ’65, yang kini berada di usia senja, masih menanggung luka ketidakadilan negara yang mereka alami saat muda. Di Banyumas, mereka membentuk komunitas “Paguyuban 10 November”, di mana mereka berkumpul setiap bulan secara bergantian di rumah-rumah anggota atau di warung kopi milik para sponsor dan mentor mereka. Pertemuan ini menjadi ruang terapi emosional, tempat mereka bernyanyi, menari, dan berbagi kisah—menemukan ketenangan dan kekuatan dalam kebersamaan. Untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, komunitas ini juga mendirikan Koperasi Simpan-Pinjam.
Kunjungan kami ke Si Mbah saat Natal membawa banyak momen haru. Saat menyerahkan hadiah Natal, banyak dari mereka mengenang masa lalu seolah baru terjadi kemarin. Beberapa berbagi cerita tentang bagaimana keluarga mereka dijauhi, diusir dari lingkungan, dan dilarang bersekolah. Didera emosi yang mendalam, beberapa di antara mereka menangis dan tidak mampu menyelesaikan cerita mereka.
Salah satu Si Mbah, seorang perempuan yang hingga kini belum menikah, berbagi bagaimana stigma masa lalu telah merampas masa depan yang pernah ia impikan. Tunangannya saat itu, seperti banyak orang lain, menolak menikahinya dan berkata:
“Kamu seorang komunis, seorang kriminal, dari keluarga yang tercela. Aku tidak ingin berhubungan denganmu atau keluargamu.”
Kata-kata itu tertanam dalam ingatannya, menjadi luka yang terlalu dalam untuk sembuh—sebuah trauma yang membuatnya memilih untuk menjalani hidup dalam kesendirian.
Namun, di antara kepedihan, ada pula momen kebahagiaan dan rasa syukur. Si Mbah Sanjan, salah satu penyintas, mengungkapkan keterkejutannya sekaligus rasa terima kasihnya saat menerima bantuan Natal:
“Terima kasih kepada Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan para donatur yang peduli kepada saya. Saya tak menyangka ada yang mau berdonasi, memperhatikan, bahkan mengunjungi kami. Biasanya, yang datang menemui kami hanya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). IKa, semoga terus maju dalam perjuangan kemanusiaan. Saya sungguh heran bahwa yang membantu kami justru pekerja biasa—orang-orang dengan gaji UMR—bukan pemerintah yang katanya kaya.”
Di tengah semangat berbagi, IKa turut berduka atas berpulangnya salah satu Si Mbah yang menerima bantuan Natal, hanya beberapa minggu kemudian, pada 21 Januari. Saat kami mengunjungi beliau, ia berkali-kali mengungkapkan keterkejutan dan rasa syukur bahwa ada orang yang masih peduli padanya. Kata-kata terima kasihnya kini menjadi kenangan yang mengingatkan kami betapa berharganya tindakan kecil kepedulian bagi mereka yang telah lama dilupakan.
Kami sadar bahwa tak ada bantuan yang bisa sepenuhnya menyembuhkan luka masa lalu Si Mbah. Namun, komitmen kami terhadap kemanusiaan dan keadilan akan terus berjalan, memastikan mereka mendapatkan dukungan, martabat, dan pengakuan yang layak. Dengan kedermawanan para donatur, dukungan dari platform GlobalGiving, serta kolaborasi dengan berbagai mitra, kami akan terus mendampingi Si Mbah Penyintas ’65.
Saat kita merenungkan makna Natal, mari kita terus menyalakan semangat solidaritas—menyebarkan kasih sayang bukan hanya di momen Natal, tetapi juga dalam setiap kesempatan berbagi kemanusiaan. Jangan biarkan ketidakpedulian memadamkan cahaya keteguhan hati Si Mbah atau membuat perjuangan mereka sia-sia.