Give Back Sale (GBS) Desember 2023

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Komnas Perempuan kembali mengadakan Give Back Sale (GBS) Pundi Perempuan. Barang preloved yang tersedia berupa tas lokal dan branded, sepatu, baju, peralatan bayi, dan mainan anak, pakaian dewasa baik etnik maupun modern, kain tradisional (batik, tenun, songket), scraft/syal, parfum, peralatan rumah tangga, buku, dan aksesoris (anting, bros, kalung, kacamata, jam tangan), dll.

GBS Pundi Perempuan diadakan pada:

Hari: Rabu – Sabtu, 6 – 9 Desember 2023
Pukul: 10.00 – 20.00 WIB
Tempat: Ke:Kini Coworking Space
Jl. Cikini Raya No. 45 Menteng, Jakarta Pusat

Give Back Sale merupakan sebuah acara galang dana publik melalui penjualan barang-barang pre-loved yang hasilnya digunakan untuk kerja-kerja pendampingan perempuan korban kekerasan di Indonesia yang dikelola oleh lembaga pengada layanan atau Women Crisis Center (WCC).

Pundi Perempuan mendukung Kampanye 16 HAKTP 2023.

Yuk hadir, jangan sampai terlewatkan!

Mendorong FAJAR dalam Lanskap Bantuan dan Sumber Daya

Selama bertahun-tahun, lanskap bantuan global telah dibentuk oleh dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, menggemakan sisa-sisa praktik kolonial. Hari ini, kebutuhan akan perubahan tak bisa disangkal. Karenanya, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bergabung dalam perjuangan ini, didorong oleh keyakinan bahwa sudah waktunya untuk mempertanyakan status quo.

Indonesia telah lama menjadi penerima bantuan internasional. Bantuan yang sering kali berasal dari negara-negara maju telah memainkan peran penting dalam mengatasi masalah-masalah kritis, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, mereka juga telah mempertahankan narasi yang memprihatinkan, yang telah memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan global.

Menyadari urgensi perubahan narasi ini, IKa memulai Forum Belajar Sumber Daya Baru (FAJAR). Inisiatif ini berfungsi sebagai wadah diskusi yang bertujuan untuk membentuk ulang lanskap bantuan dan sumber daya di dalam Indonesia. Misi FAJAR adalah untuk mendorong perkembangan sumber daya yang beragam, adil, dan berkelanjutan di Indonesia, sehingga memperbarui pola bantuan yang selama ini bersifat hierarkis. FAJAR bukanlah usaha yang berdiri sendiri; ini adalah bagian dari gerakan global yang lebih luas, Shift The Power. Gerakan ini mengupayakan pendekatan bantuan yang lebih seimbang, yang menghargai pengetahuan, pandangan, dan kepemimpinan komunitas penerima bantuan. Dengan dukungan dari Global Fund for Community Foundations (GFCF), FAJAR bertekad untuk memperkuat suara dan pengalaman Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (OMS) dalam hal bantuan dan sumber daya.

Diskusi perdana FAJAR berlangsung secara virtual pada tanggal 20 September 2023. Turut hadir sebagai pembicara adalah Dylan Mathews, CEO Peace Direct; Kamala Chandrakirana, Ketua Dewan Pembina IKa; dan Lian Gogali, Pendiri Institute Mosintuwu.

Di hari pertamanya, FAJAR membicarakan dekolonisasi bantuan yang mengupas dinamika hubungan kekuasaan dalam pengejaran sumber daya yang adil dan berkelanjutan di tingkat internasional, nasional, dan lokal. Apa yang terjadi adalah dialog mendalam yang mengungkap kompleksitas dari sebuah sistem yang tidak seimbang. Terdapat kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem internasional, yang sering mengabaikan organisasi lokal. Wawasan yang muncul dari diskusi mengungkapkan alasan-alasan umum yang digunakan untuk mempertahankan status quo, mulai dari mempertanyakan kapasitas organisasi lokal hingga prasangka buruk akan integritas organisasi lokal.

Meskipun bantuan ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial, terkadang ia malah berdampak buruk bagi komunitas yang ingin dilayani. Penting untuk diakui bahwa bantuan sering dipandang sebagai tindakan amal, sebuah gestur yang dilakukan dengan niat baik, daripada sebagai upaya untuk mencapai keadilan sosial. Pandangan ini telah secara mendalam memengaruhi model-model bantuan yang ada. Dalam sudut pandang ini, penerima bantuan seringkali dianggap tidak memiliki kekuatan.

Model-model bantuan ini tanpa disadari telah berkontribusi pada pengikisan pengetahuan lokal. Pengikisan ini dapat terlihat dalam mekanisme-mekanisme bantuan itu sendiri, aspek-aspek proseduralnya, dan fokus tematik dari berbagai program, seperti pelatihan dan lokakarya yang tidak relevan dengan apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan komunitas dengan situasi uniknya. Kerangka kerja bantuan yang ada beroperasi dengan asumsi bahwa penduduk lokal memiliki pengetahuan yang tidak mencukupi atau tidak relevan. Kearifan lokal secara konsisten dikesampingkan, dianggap tidak penting.

Pusat dari diskusi ini adalah konsep dekolonisasi, sebuah istilah yang belum sepenuhnya diterima secara universal, tetapi tidak bisa disangkal memiliki peranan penting dalam menggambarkan transformasi yang diperlukan dalam praktik bantuan. Dekolonisasi, dalam konteks ini, melampaui kritik terhadap kekuatan kolonial masa lalu. Ini tentang membongkar pandangan dunia neo-kolonial, yang menggambarkan Global Utara sebagai pemilik pengetahuan sementara menggambarkan Global Selatan sebagai tak berdaya.

Meskipun diskusi ini menyoroti masalah-masalah yang tampaknya mengakar jauh, namun ia juga menginspirasi harapan dan seruan untuk bertindak. Seperti yang ditekankan, dekolonisasi melibatkan pengakuan rasisme sebagai masalah dan membongkar sikap neo-kolonial. Ini menuntut transformasi menyeluruh dalam sektor ini.

Pelokalan (localization) dianggap sebagai langkah yang tepat, dengan tujuan untuk mentransfer lebih banyak dana secara langsung kepada organisasi lokal. Namun, kritik mulai muncul, berpendapat bahwa hal ini lebih banyak berbicara tentang metrik dan mekanisme pendanaan daripada mengatasi dinamika kekuasaan dan rasisme struktural. Padahal, fokus seharusnya berada pada berinvestasi ke dalam organisasi lokal daripada sekadar mengubah inisiatif yang sudah ada menjadi format yang lebih lokal.

Namun, transformasi ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Inersia birokrasi besar dan ketidakpastian mengenai arah yang harus diambil telah menyebabkan sejenis kebuntuan dalam sektor ini. Tantangannya sekarang adalah menerjemahkan niat menjadi tindakan yang berarti. Sudah jelas bahwa pembicaraan tentang bantuan dan dekolonisasi tidak boleh dimonopoli oleh organisasi Global Utara. Organisasi Global Selatan juga harus memiliki suara dalam membentuk narasi ini.

Diskusi berlanjut pada hari kedua, tanggal 21 September 2023, untuk mengumpulkan perwakilan dari Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK), Yayasan Bina Swadaya, Mama Aletha Fund, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Roemah Inspirit, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Di tengah-tengah wacana yang rumit ini terdapat pertanyaan mendasar: saat saluran-saluran baru untuk mengakses sumber daya muncul, bagaimana pengaruhnya terhadap otonomi dan agensi organisasi-organisasi?

Selama berlangsungnya diskusi-diskusi, berbagai pengalaman dan strategi yang beragam muncul. Beberapa telah menjelajahi menjadi perintis dalam usaha-usaha sosial dan penggalangan dana publik. Lainnya menjalani jaringan yang kompleks dari pendanaan donor global.

Bagi organisasi masyarakat sipil yang berorientasi pada advokasi, mendapatkan dana dari donor asing bisa menjadi upaya yang sulit. Hubungan kekuasaan asimetris yang melekat dalam proses ini seringkali berarti berurusan dengan pengaruh dan intervensi eksternal. Bahkan, syarat-syarat yang tertanam dalam perjanjian kontraktual dapat digunakan sebagai alat intervensi oleh para donor. Hal ini membuat OMS harus berjalan di atas tali yang rapuh antara memenuhi misi mereka dan mematuhi harapan-harapan eksternal. Mereka juga berisiko dituduh sebagai agen asing yang melayani kepentingan pemerintah asing.

Transisi ke bisnis sosial yang menjanjikan jalan untuk keberlanjutan ternyata memerlukan pengembangan keterampilan baru. Di luar ranah sosial, mengelola bisnis dan memasarkan produk membutuhkan keahlian yang berbeda. Harmonisasi dari dua jalur yang tampaknya berbeda ini menjadi krusial bagi OMS yang ingin menggapai kemampuan keuangan dan dampak sosial.

Pada intinya, diskusi FAJAR mengungkapkan sebuah refleksi mendalam: kekuasaan dan sumber daya adalah pasangan yang tak terpisahkan. Meskipun lanskap akses sumber daya bagi organisasi masyarakat sipil terus berkembang, kebutuhan kritis akan kewaspadaan tetap ada. Lonjakan saluran-saluran baru harus disambut dengan bijaksana untuk memastikan bahwa kedaulatan organisasi tidak tergerus, melainkan diperkuat.

Dialog yang memikat ini bukan hanya eksplorasi pengalaman masa lalu dan tantangan saat ini; ini adalah refleksi bersama tentang masa depan. Ini adalah pengakuan bahwa transformasi ekosistem bantuan harus berjalan seiring dengan penyegaran manajemen sumber daya. Dinamika kekuasaan harus bergeser, dan organisasi masyarakat sipil harus diberdayakan untuk mengarahkan takdir mereka sendiri. Proses ini dipenuhi dengan kompleksitas, tetapi dalam kompleksitas tersebut terdapat benih-benih perubahan. Dunia bantuan sedang berkembang, dan dalam evolusi ini, terdapat harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Calling for Youth Community

Panggilan untuk Komunitas Muda Berdaya! Untuk pertama kalinya, IKa membuka Call For Youth Community untuk 8 komunitas terpilih yang masing-masing akan mendapatkan dukungan Rp. 3.000.000 per komunitas (dengan total Rp. 24.000.000).

IKa mendukung inisiatif baik dari komunitas muda dengan memberi daya dalam program Komunitas Muda Berdaya. IKa akan memberikan dukungan catur daya (dana, jaringan, pengetahuan, dan kerelawanan) bagi Komunitas orang muda yang memperjuangkan kehidupan yang adil, bermartabat dan sejahtera bagi semua dalam kerangka hak-hak asasi manusia dan kelestarian alam.

Komunitas terpilih akan mendapatkan manfaat berupa Training peningkatan kapasitas, Kompetisi cerita perubahan, terlibat dalam Wiradewari (Festival Orang Muda untuk Kemanusiaan).

Buruan daftarkan komunitasmu untuk membawa perubahan bersama Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) berikut link pendaftaran: https://s.id/KomunitasMudaBerdaya2023

Semangat Muda dalam Forum Lintas Generasi #BetterTogether

Foto: Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) menyelenggarakan Forum Lintas Generasi pada tanggal 8 hingga 10 Agustus 2023 dengan mengundang 2 mitra konsorsium yaitu Sekber’65 dan PBH Nusra dengan relawan  pendamping dari masing-masing wilayah yaitu Surakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain itu, forum ini dihadiri oleh orang muda yang berada di wilayah Jakarta, Cilacap, Tangerang, Tanjung Priok, dan Bekasi dengan isu yang sama yaitu peristiwa 65/66, dan peristiwa Mei 1998. Jumlah orang muda yang hadir sebanyak 16 orang, 12 pendamping lansia, serta 12 orang lansia. Dengan jumlah laki-laki  17 dan jumlah perempuan 23 orang. Pertemuan Lintas generasi yang menggabungkan orang muda, dan lansia penyintas merupakan acara penutupan dari program voice selama 2 tahun program ini berjalan. Tema atau tagline dari program voice ini yaitu #BetterTogether yang memiliki pengertian apabila kerja – kerja HAM yang dilakukan secara bersama jauh lebih baik karena kerja-kerja ini menyangkut pemenuhan hak ekosob bagi penyintas 65 yang melibatkan Lintas Generasi.

Forum Lintas Generasi ini membahas hal yang berbeda dari masing-masing hari, hari pertama membahas tentang Proses refleksi bersama (kilas balik) 10 tahun terakhir, hari kedua membahas tentang Mengumpulkan Pengetahuan (membaca konteks kekinian),  dan hari ketiga yang merupakan hari terakhir membahas tentang Mengembangkan Strategi.

Hari pertama

Dua tahun bukan waktu yang sebentar namun juga bukan waktu yang terbilang lama, tetapi ada perubahan-perubahan yang dirasakan oleh masing-masing baik oleh IKa, Sekber’65 dan juga PBH Nusra. Berlangsungnya Lintas Generasi ini membuktikan bahwa tidak semua orang paham tentang peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia, namun orang muda ini mau dan melakukan dengan sadar dalam menjadi bagian dari perjuangan dalam memperjuangkan keadilan HAM seperti yang dikatakan oleh Isnur yang merupakan salah satu narasumber pada acara ini. Ia mengatakan “perubahan-perubahan atau perjuangan yang selama ini dilakukan oleh berbagai kalangan merupakan dampak atau respon dari pemerintah contohnya INPRES (Instruksi Presiden), hal itu bukan semata-mata diberikan oleh pemerintah namun ada usaha korban, pendamping yang bergerak terus menerus” Muhammad Isnur (Ketua Umum YLBHI).

Belajar HAM tidaklah mudah, butuh waktu yang cukup panjang untuk memahaminya, seperti yang dilakukan pada forum Lintas Generasi ini. Semua peserta yang hadir dari masing-masing organisasi/ komunitas diajak untuk melakukan refleksi/ kilas balik dalam 10 tahun terakhir perjalanan yang sudah dilakukan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mulai dari kasus pelanggaran HAM berat apa saja yang selama ini menjadi perhatian hingga mimpi apa yang masih dirawat hingga kini. Jawaban yang diperoleh oleh masing-masing peserta beragam  seperti kasus yang pernah terjadi di NTT yaitu pembunuhan masal yang mengakibatkan trauma hingga terstigma oleh lingkungan, dituduh sebagai underbouw PKI lansia penyintas di Sekber’65, perempuan yang dipenjarakan dengan tuduhan Gerwani dan masih banyak lainnya. Namun dari itu semua ada mimpi yang hingga kini masih menjadi harapan dari para penyintas yaitu mendapatkan pengakuan negara, kejadian kelam tidak terulang kembali, mendapatkan kompensasi yang layak dari negara, restitusi dan rehabilitasi dan masih banyak lainnya.

Luka yang dialami oleh penyintas tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata betapa pedihnya kejadian masa kelam tersebut sehingga tidak semua penyintas mau menceritakannya karena masih ada trauma yang mendarah daging hingga kini tahun 2023. Menurut Gandes (narasumber Lintas Generasi) ada 2 tipe korban/ penyintas pelanggaran berat HAM masa lalu “luka yang tidak mau diceritakan, dan luka yang bersedia untuk diceritakan. Sejarah tidak seharusnya untuk dilupakan, justru dari sejarah kita dapat membuat sebuah perubahan”. Cecilia Gandes (Manajer media sosial Kompas).

Hari Kedua

Pada hari kedua pengetahuan yang diperoleh atau informasi yang diperoleh direfleksikan kembali yang dituangkan pada pembentukan kelompok untuk saling berbagi cerita yang ada dari kasus 65/66 dan 98 dari orang muda akan bertukar organisasi untuk mendapatkan informasi dari kasus yang terjadi di tempat yang menjadi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti kasus 65 yang terjadi di Maumere adanya peraturan wajib lapor bagi penyintas setiap bulan dan pemberian kartu C bagi para korban tragedi 65 yang mengakibatkan para korban tidak menerima hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, salah satunya adalah Hak Memilih dalam Pemilu beberapa tahun silam. “Sebelum tragedi 65, kami berjuang untuk rakyat, namun pasca 65 kami berjuang untuk diri sendiri, bukan karena egois, tetapi berupaya untuk bertahan dan survive di tengah apa yang telah terjadi” Kris (Solidaritas Indonesia).

Tak hanya kasus 65/66 yang menyayat hati tak terlupakan juga kasus dari Mei 98 Ibu Ruminah (penyintas 98) mengatakan “kalau saya dari semenjak jadi korban Mei 98 tidak pernah senang, selalu diintimidasi sama orang-orang yang nggak suka sama korban Mei 98”.

Berbagi cerita yang didapatkan dari korban maupun pendamping tidak berhenti disitu, peserta dari masing-masing kelompok yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kelompok Flaron, Kelompok Sergius, Kelompok Rusa, dan Kelompok Pemburu Keadilan, perlu menemukan titik relevansi dengan cara menuliskan mengapa penyelesaian kasus harus dilanjutkan oleh orang muda.  Ada berbagai jawaban seperti dosa masa lalu tidak terulang kembali, orang muda melakukan kampanye dan dokumentasi (digitalisasi), pemulihan hak-hak korban pelanggaran berat HAM masa lalu dengan mengawal implementasi Inpres No. 2 tahun 2023, orang muda adalah garda terdepan bangsa Indonesia, dan mengembalikan hak dan martabat korban. Hal itu semua merupakan upaya dari titik relevansi dari masing-masing kelompok yang bisa dilakukan oleh orang muda.

Hari Ketiga

Hari ketiga ini merupakan hari terakhir, ada moment seru ketika lansia duduk bersama dan saling menguatkan mereka saling berbagi pesan bahwa merawat keadilan dan HAM kami serahkan tongkat estafet kepada orang muda dengan berbagai upaya dan strategi yang bisa dilakukan dari ranah negara seperti mendorong pemerintah untuk membuat kurikulum sejarah yang lebih valid, mendorong pemerintah meratifikasi konvensi penghilangan paksa yang saat ini masih tertahan di DPR. Upaya dalam ranah masyarakat yaitu dengan menjaga masyarakat dari ide-ide ekstrimisme dengan melakukan sosialisasi mengenai kesadaran HAM, memperbanyak strategi kampanye, melibatkan orang muda dalam memperjuangkan hak-hak korban dan dalam organisasi gerakan HAM. Upaya dalam pendampingan korban yaitu memperbanyak ruang temu diskusi lintas generasi, memberikan peningkatan kapasitas bagi orang muda dan keluarga korban.

Tiga hari forum Lintas Generasi merupakan acara yang berkesan di benak masing-masing baik orang muda, dan lansia. Berbaur satu sama lain dengan masing-masing organisasi sudah dapat membuktikan bahwa kepedulian yang dilakukan orang muda dilakukan dengan empati bukan hanya sekedar simpati sesaat. Karena lansia merasa diwongke (di orangkan) dan didengar apa yang diinginkan apa yang menjadi keresahan di hati. Senyuman, ucapan syukur dan terima kasih diucapkan dengan tulus dan air mata, mereka merasa aman dan nyaman saat bercerita. Penutupan ini diakhiri dengan panggung ekspresi #BetterTogether baik individu ataupun kelompok ada yang menampilkan dance, baca puisi, menyanyi, berjoget ria bersama, dan ada pula yang bermonolog. Terima kasih voice untuk dukungan yang diberikan kepada IKa maupun mitra konsorsium seperti Sekber’65 dan PBH Nusra. Penutupan ini akan menjadi dokumentasi nyata bahwa tiga hari pertemuan lintas generasi merupakan salah satu cara dalam mengkampanyekan keadilan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan menghadirkan korban maupun pendamping.

Lowongan Kerja (Staf Pelaksana Program – Pundi Hijau)

Uraian Tugas dan Tanggung Jawab

  1. Melakukan identifikasi pola-pola penggalangan dana, pengetahuan , kerelawanan dan jaringan sosial untuk  pengembangan sumber daya Pundi Hijau
  2. Menyiapkan rencana kerja operasional (work plan) dan anggaran kegiatan atau program di lingkup Pundi Hijau dengan capaian target penggalangan daya. 
  3. Bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan atau program Pundi Hijau sesuai ketentuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan strategis IKa sesuai visi dan misi IKa.
  4. Memberikan pelayanan, asistensi, dan penguatan kapasitas kepada organisasi mitra dalam bidang penggalangan dan pengelolaan sumber daya sesuai yang mereka butuhkan.
  5. Mengembangkan kerja sama dan kemitraan dengan berbagai pihak dalam rangka penggalangan sumber daya sesuai model kerja IKa (komunitas pemberdaya).
  6. Mengkoordinasikan tercapainya kegiatan pemantauan dan evaluasi atas program/kegiatan Pundi HIjau untuk memastikan adanya pembelajaran yang transformatif dan berkelanjutan.
  7. Mengedepankan kerja tim (teamwork) di dalam divisi pengembangan sumber daya dan lintas divisi di dalam lembaga IKa.
  8. Menyusun laporan-laporan kegiatan/program yang menjadi lingkup tugas dan tanggung jawab program/kegiatan Pundi Hijau bagi pengembangan dan pembelajaran yang berkelanjutan.

Kualifikasi:

  1. Lulus S1 dengan pengalaman bekerja  di LSM minimal 3 tahun
  2. Memiliki wawasan dan pengetahuan mengenai lingkungan hidup, utamanya perubahan iklim.
  3. Memiliki pemahaman manajemen organisasi dan manajemen program
  4. Memiliki pengalaman dalam menjalankan program di LSM.
  5. Lancar menggunakan program Microsoft office (Ms. Word, Ms. Excell, dan lainnya) dan aplikasi kerja online (Zoom, Teams, dll.).
  6. Memiliki ketekunan, kedisiplinan, tanggung jawab dan loyalitas dalam menyelesaikan tugas.
  7. Memiliki kepedulian dan wawasan ke-LSM-an serta transformasi sosial.
  8. Memiliki kemampuan berkomunikasi, motivasi dan persuasi kepada orang lain yang berhubungan dengan bidang tugasnya.
  9. Fasih berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
  10. Memiliki pengalaman bekerja dalam tim dengan beragam karakter.

Bagi calon pelamar yang berminat, silakan kirim surat lamaran, CV termasuk referensi (minimal 2 orang) dan gaji yang diharapkan  ke email: sekretariat@indonesiauntukkemanusiaan.org, paling lambat tanggal 31 Agustus 2023.

Hanya pelamar yang memenuhi kualifikasi yang akan dihubungi.

Call for Proposal Hibah Pundi Perempuan Termin 2, Tahun 2023

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan kembali membuka Hibah Pundi Perempuan. Hibah akan diberikan pada komunitas/organisasi masyarakat sipil yang memberikan layanan dan pendampingan kepada perempuan korban kekerasan di Indonesia. Selanjutnya disebut dengan
komunitas/organisasi.

Kami mengundang komunitas/organisasi untuk mengirimkan proposal yang akan masuk dalam proses seleksi penerimaan Hibah Pundi Perempuan termin I tahun 2023. Penerimaan proposal akan dilaksanakan pada tanggal 13 September tahun 2023.

Komunitas/organisasi yang terpilih akan memperoleh Hibah maksimal sebesar Rp 25.000.000, – (dua puluh lima juta rupiah) yang dapat digunakan untuk mendanai pendampingan hukum dan pemulihan psikososial (termasuk di dalamnya kegiatan diskusi berbagi pengetahuan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan korban kekerasan).

Kriteria Penerima Dana Hibah Pundi Perempuan: 

  1. Komunitas/organisasi masyarakat sipil (spesifik kepada lembaga pengada layanan/WCC).
  2. Memberi layanan bagi perempuan korban kekerasan, minimal 5 kasus perbulannya.
  3. Tidak sedang menerima dana bantuan program baik dari pemerintah maupun lembaga donor
    lainnya.
  4. Memiliki sistem kerja yang menjamin adanya akuntabilitas, dan diharapkan komunitas/organisasi dapat menunjukkan kemampuan dalam menyusun laporan kegiatan dan keuangan dengan baik.
  5. Diutamakan memiliki rumah aman bagi perempuan korban kekerasan.
  6. Bersedia berkontribusi dalam mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan korban kekerasan
    melalui pengadaan diskusi, lokakarya, maupun pelatihan.
  7. Menyertakan dua nama referensi beserta kontak yang dapat dihubungi dalam proposal.

Mekanisme Pelaksanaan Penyaluran Hibah Pundi Perempuan:

  1. Komunitas/organisasi yang mendapatkan hibah Pundi Perempuan akan diumumkan melalui email dan media sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa).
  2. Komunitas/organisasi yang telah memasukkan proposal untuk mengakses hibah Pundi Perempuan
    akan diseleksi dan diputuskan oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Komnas Perempuan.
  3. Batas pengajuan proposal hibah Pundi Perempuan pada tanggal 13 September Tahun 2023.
  4. Komunitas/organisasi diharapkan mengajukan proposal narasi dan anggaran untuk kegiatan selama 6 bulan periode Oktober 2023 – Maret 2024 sesuai dengan format proposal Pundi Perempuan.
  5. Komunitas/organisasi terpilih bersedia mengirimkan cerita-cerita lapangan, laporan narasi kegiatan dan keuangan,beserta informasi pendukungnya.

Proposal yang masuk akan diseleksi oleh panitia pengarah dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan.

*Format proposal dan anggaran biaya dapat anda unduh pada link berikut:

Meneroka Lanskap Filantropi: Perjalanan Reflektif

Peer-learning Event #ShiftThePower oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) yang diselenggarakan di Tewa Center, Kathmandu Nepal pada bulan Mei 2023 dihadiri aktor filantropi dari berbagai negara.

Pertemuan peer-learning #ShiftThePower yang diselenggarakan oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) di Tewa Center, Kathmandu, Nepal pada Mei 2023, menjadi ajang berkumpulnya beragam aktor filantropi dari berbagai penjuru dunia.  Tanpa saya duga, begitu saya melangkahkan kaki ke ruang yang penuh dinamika ini, timbul perjalanan mendalam menuju introspeksi dan telaah ketat mengenai dinamika kekuasaan dalam ranah filantropi. Diskusi dan wawasan yang dihasilkan menjadi pengalaman yang menantang pemikiran, mendorong saya untuk mengevaluasi pemahaman sebelumnya mengenai pentingnya organisasi semacam Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dalam kapasitas kami sebagai Organisasi Sumber Daya Masyarakat Sipil (OSMS).  

Pertemuan ini memberikan pencerahan, memperlihatkan dinamika kekuasaan yang sering kali  terabaikan dan tertanam kuat dalam organisasi perantara (intermediaries). Kami terdorong untuk mengurai dengan cermat kompleksitas ini – dan dengan penuh kesadaran mengevaluasi pengaruh kami terhadap komunitas yang kami layani. Kami merasa terpanggil untuk merenungkan apakah niat baik kami tanpa disadari memperkuat narasi yang menegasikan otonomi dan sumber daya komunitas lokal. Kini, jelas bagi saya bahwa kita harus menghapus stigmatisasi ini dan membina lingkungan di mana komunitas diakui sebagai agen perubahan aktif dan pengambil keputusan dalam pandangan mereka sendiri.

Dalam pertemuan, ditegaskan pentingnya mendepak dinamika ‘pemberi dan penerima’ sumber daya yang konvensional, serta merekonseptualisasikan kemitraan sebagai kolaborasi yang adil. Kita harus melepaskan kacamata yang sarat prasangka eksternal dan merangkul pendekatan yang lebih mengakar. Tak boleh lagi kita memaksakan solusi yang bersifat menggurui, tetapi harus berkomitmen untuk mendengarkan dengan aktif, beradaptasi, dan memberikan dukungan sejati.

Menjaga lokalitas dan kepemilikan lokal memang memiliki sejumlah tantangannya sendiri. Ini memerlukan rasa rendah hati dan dedikasi yang teguh untuk keterlibatan berkelanjutan. Namun, imbalannya sangatlah besar: lanskap filantropi yang adil dan berkelanjutan, yang memberdayakan komunitas untuk menjadi arsitek perkembangan mereka sendiri.

Seiring para peserta saling berbagi pengalaman dan wawasan, pemahaman bersama pun muncul – bahwa masyarakat sipil di wilayah selatan memiliki kapasitas luar biasa untuk menantang dan membentuk kerangka kerja berbasis otoritas dan solidaritas. Namun, untuk memahami gagasan ini, kita harus melampaui batasan ruang pertemuan konvensional dan berkomitmen untuk mewujudkan idealisme yang kita genggam. Terbatas dalam diskusi dan perumusan strategi saja tidak cukup; kita harus bersikap seperti gerakan.

Untuk mewujudkan esensi sebuah gerakan, kita harus melampaui partisipasi pasif. Untuk benar-benr membuat perbedaan, kita harus menunjukkan kemauan untuk keluar dari zona nyaman, menantang status quo, dan mengajak orang lain untuk bergabung dalam perjuangan kita menuju keadilan dan kesetaraan.

Sebagai warga Global Selatan, saya meyakini bahwa kita memiliki kewajiban yang khas untuk mendorong gerakan ini. Penting bagi kita untuk mengoptimlakna kekuatan kolektif kita, memanfaatkan kekayaan berbagai keahilan dan pengalaman untuk mendorong transformasi yang bermakna. Perubahan yang kita usahakan tidak diandalkan pada aktor atau institusi eksternal. Sebagai gantinya, kita harus beratnggung jawab atas trajektori kita sendiri dan menjadi agen transformasi dalam kapasitas kita masing-masing. Hal ini melibatkan memanfaatkan jaringan kita, baik daring maupun luring, membangun jaringan, bertukar sumber daya, dan memupuk kerja sama. Penting bagi kita untuk tak gentar menghadapi sistem dan struktur yang telah mengakar kuat dan mempertuasi ketidaksetaraan dan eksploitasi.

Kita bisa mengambil inspirasi dari sejarah yang telah membentuk dunia kita, dari perjuangan hak-hak sipil hingga perjuangan tak henti melawan kolonialisme dan penindasan sistemik. Gerakan-gerakan ini didorong oleh indiviu-individu biasa yang menolak tatanan yang ada dan berani membayangkan masa depan alternatif.

Pada akhirnya, fokus ini melampaui IKa atau lembaga lainnya. Ini mencakupi upaya kolaboratif yang melebihi batas geografis dan memberdayakan komunitas-komunitas yang kami berdedikasi untuk mendukung.

Kita harus terus berjalan bersama, menghadirkan perubahan yang berarti dan mengatasi tantangan bersama-sama. Kita menggengam tanggung jawab bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.

Tidak satupun dari kita yang hanya menjadi peserta pasif dalam skema besar kehidupan; karena kita adalah katalis perubahan dan arsitek perkembangan kita sendiri.

Artikel ini merupakan tulisan reflektif dari kegiatan Peer-learning Event GFCF tentang gerakan #ShiftThePower. Tulisan ini juga tayang  dalam Bahasa Inggris dan dapat diakses melalui website GFCF.

Belanja untuk Lawan Kekerasan Berbasis Gender di Give Back Sale

JAKARTA – Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), sebuah Organisasi Sumber Daya Masyarakat Sipil (OSMS) mempersembahkan Give Back Sale. Kegiatan penggalangan dana publik untuk program Pundi Perempuan ini  akan berlangsung selama tiga hari, yakni Kamis (6/7) hingga Sabtu (8/7) di Ke:kini ruang bersama, Cikini, Jakarta Pusat.

Give Back Sale yang telah diprakarsai IKa sejak tahun 2016 berfungsi sebagai kegiatan menggalang dana dengan melibatkan partisipasi masyarakat, baik itu individu, komunitas, maupun lembaga atau perusahaan. Hasil penggalangan dana ini disalurkan untuk  mendukung Lembaga Pengada Layanan atau Women’s Crisis Centers (WCC) yang memberikan pendampingan hukum dan pemulihan psikosial bagi perempuan terdampak Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Melalui donasi publik, barang-barang preloved seperti pakaian, tas, sepatu, aksesoris, hingga peralatan rumah tangga  dikumpulkan, dikurasi, dan dijual kembali sebagai bentuk  nyata partisipasi kolektif konkret dari masyarakat sipil untuk berkontribusi melawan KBG.

Give Back Sale mendorong dan menekankan pentingnya perilaku konsumsi berkesadaran berupa thrifting, sebagai alternatif cara mendukung WCC. Belanja barang preloved memang kini tengah naik daun sebagai praktik gaya hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan demikian, setiap barang yang dibeli di Give Back Sale mewakili donasi untuk mendukung WCC agar memungkinkan lembaga-lembaga pengada layanan  terus melayani dan mendampingi perempuan korban KBG. Keberadaan Give Back Sale menjadi salah satu strategi  penggalangan sumber daya publik, tidak hanya dari segi dana, tetapi juga pengetahuan dan kerelawanan dalam upaya  menjagakeberlangsungan WCC. 

“Keberadaan WCC seringkali hasil inisiatif dan solidaritas penyintas ataupun orang yang peduli dengan isu KBG. Tapi keberlanjutannya sering terkendala bentuk WCC yang tidak berbadan hukum. Hasil donasi publik dari Give Back Sale sangat membantu di situasi ini,” ujar Koordinator Program dan Penggalangan Sumber Daya Stella Anjani.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan di tahun 2022 dan 2023, tercatat lebih dari 400.000 kasus KBG yang menimpa perempuan. Ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk mendukung WCC. Tak sedikit lembaga pengada layanan yang menyediakan layanan krusial seperti konseling, bantuan hukum, dan tempat berlindung bagi para korban kekerasan dengan dana sukarela anggota. Ditambah dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), diprediksi bahwa pengaduan ke WCC akan meningkat. Ini mengindikasikan lebih banyak sumber daya yang akan dibutuhkan oleh WCC.

Salah satu aspek penting dari Give Back Sale adalah keterlibatan “Penggalang” sumber daya IKa yang merupakan kelompok integral dari Komunitas Pemberdaya IKa. Individu-individu yang berdedikasi ini memainkan peran dalam GBS, menyumbangkan waktu, tenaga, dan keterampilan dari proses perencanaan hingga pelaksanaan. Singkatnya, Penggalang menjadi tulang punggung dari GBS yang memastikan seluruh rangkaian proses GBS berjalan lancar.

Give Back Sale telah berkembang menjadi platform untuk mengumpulkan keterlibatan masyarakat. Kegiatan ini menyatukan individu dari berbagai latar belakang untuk mencapai tujuan yang setara, yakni terwujudnya pelayanan merata bagi perempuan korban KBG di Indonesia. Ini menjadi perwujudan komitmen IKa untuk memberdayakan individu dan memupuk rasa solidaritas.

Tentang IKa dan Pundi Perempuan

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) didirikan pada tahun 1995 di masa tahun-tahun terakhir rezim otoriter Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu gerakan pro-demokrasi mulai berkembang. Saat IKa didirikan, perannya ditujukan untuk mendukung gerakan pro-demokrasi melalui hibah kecil/mikro. IKa menyebut dirinya sebagai Civil Society Resource Organization (CSRO) dengan visinya dalam pemberdayaan masyarakat sipil yang memperjuangkan kehidupan yang adil, bermartabat, dan sejahtera untuk semua, dalam kerangka hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan. Program IKa mencakup isu-isu keadilan gender (Pundi Perempuan), hak asasi manusia (Pundi Insani), keragaman dan toleransi (Pundi Budaya), dan ketidakadilan pengelolaan ekosistem (Pundi Hijau) dengan ciri membangun kerja kolaboratif dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas terpinggirkan dari Aceh hingga Papua.

Pundi Perempuan adalah women’s fund (dana hibah perempuan) pertama di Indonesia yang hadir dalam merespon kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang semakin meningkat pelaporan kasus dari tahun ke tahun. Pundi Perempuan digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2001, dan mulai tahun 2003 dikelola bersama IKa. Pundi Perempuan menghadirkan model hibah yang memberdayakan, sesuai dengan nilai-nilai perubahan sosial yang diharapkan. Pundi Perempuan melakukan penggalangan sumber daya publik khusus untuk mendukung Lembaga Pengada Layanan (Women’s Crisis Center/WCC) yang membantu perempuan dan anak korban kekerasan, perempuan pekerja kemanusiaan di situasi darurat, dan komunitas/organisasi perempuan di Indonesia. Hingga tahun 2022, Pundi Perempuan telah mendukung 132 WCC di Indonesia.


Give Back Sale (Pundi Perempuan)

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Komnas Perempuan kembali mengadakan Give Back Sale (GBS) Pundi Perempuan yang digelar secara offline.

Kami mengajak para sahabat IKa untuk berbelanja sambil berdonasi untuk membantu perempuan korban kekerasan di Indonesia.

Yuk ajak pasanganmu, sahabatmu, kerabatmu untuk turut belanja sambil berdonasi pada:
Tanggal : 6 – 8 Juli 2023
Waktu : 10.00 – 20.00 WIB
Tempat : IKa/Ke:Kini Ruang Bersama Jl.Cikini Raya 43-45 Menteng Jakarta Pusat

Give Back Sale merupakan sebuah acara galang dana melalui penjualan barang-barang pre-loved yang telah diselenggarakan sejak tahun 2016. Seluruh hasil donasi ini akan digunakan untuk membiayai kerja-kerja pemulihan perempuan korban kekerasan di Indonesia oleh lembaga pengada layanan/WCC.

Untuk info lebih lanjut hubungi nomor WhatsApp +62 813-8673-5816 (Admin IKa)

Yuk ikutan!

Ngulik Budaya, Mendiskusikan Keberlanjutan Batik Tulis dan Pengrajinnya

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Pundi Budaya mempersembahkan “Ngulik Budaya: Batik Tulis sebagai Bentuk Keberagaman, Kelestarian, dan Kearifan Lokal”, sebuah diskusi budaya yang diadakan pada Jumat (14/4) silam. Diskusi ini dirancang oleh Humaira Sentosa, Prysafella Deviena, dan Tariska Salsabila, tiga mahasiswa Universitas Indonesia yang sedang melakukan praktikum di IKa. Ngulik Budaya dilaksanakan secara daring via Zoom dan menghadirkan Kwan Hwie Liong (William Kwan), Direktur Institut Pluralisme Indonesia (IPI) sekaligus pemerhati batik.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul pembaharuan fokus untuk melestarikan batik tulis sebagai salah satu identitas budaya Indonesia. “Ngulik Budaya” hadir sebagai respon atas pergulatan batik tulis untuk tetap relevan hari ini. Pasalnya, batik tulis kini harus bersaing dengan tren fast fashion dan tuntutan industri akan metode produksi yang lebih cepat dan murah. William Kwan pun mengeksplorasi pelestarian batik tulis sebagai refleksi keberagaman dan signifikansinya dalam budaya Indonesia, khususnya di era modern ini.

William menjelaskan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki gaya batik yang unik, mencerminkan budaya lokal, sejarah, dan lingkungan alam. Penggunaan batik tidak terbatas pada pakaian, karena juga digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dekorasi hingga ritual keagamaan. Motif batik dapat bervariasi dari desain geometris sederhana hingga adegan naratif yang kompleks, masing-masing dengan simbolisme dan maknanya sendiri.

Kesejahteraan pengrajin batik tulis memiliki kaitan yang erat dengan pelestarian batik tulis sebagai warisan budaya.  Para pengrajin mewarisi tradisi dalam membuat desain batik dari para leluhur mereka. Mata pencaharian mereka pun bergantung pada kemampuan untuk terus mempraktekkan kerajinan ini. Munculnya tekstil yang diproduksi secara massal menjadi tantangan lainnya bagi para pengrajin batik tulis.  Karenanya, keberlanjutan komunitas pengrajin batik tulis turut menjadi sorotan dalam diskusi budaya ini.

Namun, William menuturkan realitanya adalah kebanyakan pembatik tulis hanya menerima upah di angka puluhan ribu rupiah saja setiap bulannya. Ini tentu tak sebanding jika melihat bagaimana para pembatik tulis adalah pahlawan budaya yang berperan penting dalam melestarikan warisan budaya Indonesia.

William melihat bahwa salah satu alasan minimnya upah pembatik tulis karena kurangnya riset untuk memahami permintaan dan ketertarikan pasar di mana batik tulis dikembangkan. “Selama ini pembuatan batik dan pengupahan di level lokal kurang dikaitkan dengan pasar besarnya, entah itu di Indonesia atau di luar negeri. Misalnya negara Swedia, di sana orang suka apa, motif apa. Kalau bisa pahami itu, maka kita bisa punya value yang tinggi,” tuturnya.

Lebih jauh lagi, William meneropong situasi kecilnya upah pembatik tulis dapat berdampak pada ketertarikan orang muda untuk menjadi generasi baru pembatik tulis. Karenanya, pemerintah perlu membuat upaya pemetaan daerah potensial sebagai pasar batik tulis dan memelajari preferensi dan tuntutan pasar di daerah tersebut. Dari situ bisa dibuatkan perencanaan untuk membuat pengembangan batik yang dapat menggerakkan orang muda agar terlibat di dalamnya.

Mendorong upaya menumbuhkan ketertarikan akan batik tulis pun bisa dimulai walau pemerintah belum pasang kuda-kuda. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan kegemaran orang muda masa kini untuk mengikuti workshop – khususnya di wilayah urban. Penyelenggara workshop dapat mengadakan kelas membatik tulis. Dengan demikian, orang muda tak hanya menyalurkan keinginan mereka untuk mencoba hal baru tapi juga berpartisipasi pada pelestarian budaya. Nantinya, ketika rasa cinta orang muda akan batik tulis sudah mengakar, mentransformasi kesukaan tersebut menjadi sumber penghaasilan pun jadi lebih terbuka. “Harapannya batik ini bisa menjadi salah satu sumber penghasilan anak muda,” kata William.

IKa sebagai organisasi sumber daya masyarakat sipil mendukung keberlanjutan para pengrajin batik tulis dan pegiat pelestariannya. Diskusi budaya ini sekaligus adalah ajakan untuk berdonasi melalui Pundi Budaya, sebuah program mobilisasi sumber daya IKa yang didedikasikan untuk mendukung seniman, aktivis, dan pembela budaya dan keberagaman.

“Khusus di IKa sendiri kita ada program Pundi Budaya sehingga harapannya melalui kegiatan yang proaktif bisa mendorong pelestarian batik maupun pelestarian budaya Indonesia yang lainnya. Harapannya, di IKa kita akan mengembangkan komunitas pemberdaya, termasuk di dalamnya di bidang batik ini,” papar William.

Membatik bukan hanya sebagai bentuk kesenian; ini juga merupakan cerminan keragaman budaya Indonesia. Selain menjaga keberlanjutan para pengrajin batik, pelestarian batik juga untuk memastikan generasi mendatang masih dapat menyaksikan keindahan batik dan keragaman budaya Indonesia masih terus dirayakan.

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!