FAJAR #7 Mengurai Ketimpangan dalam Dana Bantuan: Menavigasi Relasi Kuasa antara Donor dan OMS

Pada 15 Oktober 2024, diskusi FAJAR #7 yang diselenggarakan oleh Indonesia untuk Kemanusiaan
(IKa) mengupas isu krusial tentang dinamika hubungan antara donor dan Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS) di Indonesia. Mengusung tema “Mengidentifikasi Ketimpangan dalam Pemberian Dana
Bantuan: Membangun Pemahaman atas Relasi Kuasa antara Donor dan OMS,” acara ini menjadi
wadah bagi OMS untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan memikirkan pola-pola pengelolaan
bantuan donor internasional yang sering kali sarat ketimpangan relasi kuasa.

Forum Belajar Sumber Daya Baru (FAJAR) merupakan inisiatif IKa yang berfokus pada
pengembangan sumber daya yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Didukung oleh Peace Direct,
FAJAR#7 dirancang untuk menciptakan ruang diskusi reflektif yang mendorong pengelolaan bantuan
yang lebih berorientasi pada kebutuhan lokal. Sita Supomo, Direktur Eksekutif IKa, membuka diskusi
dengan menggambarkan tantangan besar yang dihadapi OMS terkait pelaporan, administrasi, dan
persyaratan donor yang banyak menjadi keluhan OMS.

Dari Pasif ke Aktif: Membangun Kemitraan Setara dengan Masyarakat Adat
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengangkat isu
ketimpangan akses masyarakat adat terhadap dana bantuan, terutama dana iklim, yang sering kali
tidak sampai ke tangan komunitas lokal di akar rumput. Meski masyarakat adat bertanggung jawab
menjaga sekitar 80% ekosistem terbaik dunia, mereka hanya menerima 1% dari dana iklim yang
seharusnya mendukung upaya pelestarian tersebut. Rukka menyoroti bahwa prosedur donor yang
rumit dan syarat ketat sering kali menjadi penghalang bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan
dana secara maksimal. Ketentuan-ketentuan ini, yang cenderung tidak relevan dengan realitas di
lapangan, membuat masyarakat adat berada dalam posisi subordinat, seolah hanya sebagai
penerima pasif tanpa kendali atas alokasi dana yang ditujukan bagi mereka.

Dengan basis pengalaman AMAN tersebut, Rukka menekankan pentingnya mengubah pendekatan
bantuan agar relasi antara donor dan masyarakat adat dapat berdiri di atas prinsip kesetaraan dan
saling percaya. Ia menyerukan kemitraan yang didasarkan pada kepercayaan, di mana masyarakat
adat dilihat sebagai mitra aktif dengan peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan global.
Pendekatan baru ini diharapkan dapat membuka akses yang lebih besar bagi masyarakat adat,
memungkinkan mereka mengelola dana sesuai kebutuhan lokal tanpa kendala administratif yang
berlebihan, dan memperkuat dampak perlindungan lingkungan secara berkelanjutan.

Tantangan Praktik Donor bagi OMS
Dalam diskusi ini, sejumlah tantangan yang kerap dihadapi OMS dalam pengelolaan dana bantuan
mengemuka. OMS sering kali harus berhadapan dengan kebijakan donor yang terlalu kaku dan
administrasi yang memberatkan, mengurangi kemampuan mereka untuk menyesuaikan program
sesuai kebutuhan lokal. Beberapa contoh tantangan utama ini mencakup:

  1. Tuntutan Pelaporan yang Kompleks dan Berbelit – Banyak donor internasional menetapkan
    standar pelaporan yang sangat detail dan administrasi yang rumit, mengalihkan fokus OMS
    dari program utama ke pekerjaan administratif.
  2. Fleksibilitas Anggaran yang Rendah – OMS sering kali tidak diperbolehkan mengalihkan
    anggaran meskipun kebutuhan di lapangan berubah, menyebabkan kurangnya adaptabilitas
    terhadap situasi lokal.
  3. Indikator Keberhasilan yang Tidak Sesuai – Indikator kuantitatif yang ditetapkan donor
    mengabaikan dampak nyata jangka panjang, memaksa OMS untuk fokus pada angka
    ketimbang perubahan substantif.
  4. Ketergantungan pada Dokumentasi Visual – Persyaratan donor untuk dokumentasi foto atau video kadang menjadi beban tambahan, yang tidak selalu mencerminkan dampak mendalam dari program.
  5. Relasi Kuasa yang Tidak Setara – Donor sering memandang OMS hanya sebagai penerima
    pasif yang harus mematuhi semua aturan tanpa ruang untuk negosiasi.
  6. Durasi Pendanaan yang Singkat – Pendanaan jangka pendek membatasi OMS dalam
    menghasilkan dampak jangka panjang, terutama dalam program perubahan sosial.
  7. Persyaratan Due Diligence yang Ketat – Ketatnya persyaratan ini sering kali menghalangi
    OMS kecil yang berpotensi besar, karena mereka tidak memiliki kapasitas administratif yang
    mencukupi.

Setiap tantangan ini mencerminkan relasi kuasa yang kurang seimbang, dimana OMS sering kali
berada dalam posisi harus mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan oleh donor, Dimana hal-hal
tersebut yang tidak selalu sejalan dengan kondisi di lapangan.

Menuju Kemitraan Setara: Rekomendasi untuk Memperbaiki Relasi Donor dan OMS

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam relasi donor dan OMS, diskusi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting yang diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dan fleksibilitas dalam pengelolaan dana bantuan. Rekomendasi ini tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki prosedur dan kebijakan pendanaan, tetapi juga untuk membangun kemitraan yang lebih adil, di mana OMS memiliki peran aktif dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya.

  • Kemitraan yang Setara: Donor perlu mempercayai OMS dalam mengelola dana dan menghargai pengetahuan lokal, menciptakan relasi yang saling mendukung.
  • Penguatan Kapasitas Negosiasi OMS: OMS perlu mengembangkan kapasitas negosiasi agar memiliki peran aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait pendanaan.
  • Transparansi dan Akuntabilitas yang Inklusif: Perlu adanya mekanisme yang lebih sesuai dengan konteks lokal, memungkinkan OMS menjalankan peran lebih besar.
  • Pendanaan Alternatif: Kolaborasi antar OMS dalam penggalangan pendanaan alternatif seperti crowdfunding perlu didorong untuk mengurangi ketergantungan pada donor internasional.

Acara ini menegaskan kembali pentingnya upaya kolektif dalam membangun kesetaraan antara
donor dan OMS, serta perlunya pendekatan yang lebih berfokus pada kebutuhan dan kondisi lokal
dalam setiap proses pengelolaan dana bantuan (community driven development). Dengan
implementasi rekomendasi ini, diharapkan OMS dapat memainkan peran yang lebih aktif dan
strategis dalam hubungan mereka dengan donor, bukan hanya sebagai penerima pasif.

Mengembangkan Konsep Akar Daya; Pengelolaan Sumber Daya Mandiri dan Berkelanjutan di Komunitas Lokal

Forum Belajar ke-empat (FAJAR #4) diadakan pada Kamis, 30 Mei 2024, di kantor Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa). Acara ini menghadirkan pakar yang terdiri dari penggerak, aktivis, dan akademisi yang berbagi pengalaman dalam pengelolaan sumber daya gerakan sosial berbasis kemandirian, keswadayaan, dan keberlanjutan. Para pembicara termasuk Prof. Dr. Melani Budianta dari Jaringan Kampung Nusantara, Noer Fauzi Rahman Ph.D, Farida dan Wakhit Hasyim dari Wangsakerta, serta Hambali dari Mitra Aksi, dengan Kamala Chandra Kirana sebagai fasilitator.

FAJAR #4 merupakan ruang belajar untuk mengembangkan konsep sumber daya transformatif bagi gerakan sosial, merespon penyempitan ruang gerak masyarakat sipil. Forum ini mendiskusikan lima isu utama: aset, pemanfaatan, pengembangan, ekosistem, keberlanjutan, dan penyebaran inisiatif ke komunitas lain.

Noer Fauzi Rahman berbagi pengalaman mengelola sumber daya advokasi agraria melalui Perhutanan Sosial dengan pendekatan agro-ekologi, sedangkan Farida dan Wakhit Hasyim dari Wangsakerta menceritakan pengorganisasian ekonomi komunitas berbasis agro-kultur di Cirebon. Hambali dari Mitra Aksi berbagi tentang kapitalisasi aset transformatif yang mencakup pengembangan aset lembaga dan komunitas. Prof. Dr. Melani Budianta membahas pengalaman Jaringan Kampung dalam memaknai aset sebagai pusat perjuangan melawan kemiskinan dan penaklukan kota.

FAJAR #4 juga membahas pembangunan keberlanjutan dan ekosistem pengembangan sumber daya transformatif serta pentingnya pewarisan pengetahuan. Forum ini merekomendasikan pemetaan komunitas berbasis kolektivitas dan keterkaitan dengan misi gerakan sebagai langkah awal untuk membangun model praktik komunitas dalam pengembangan sumber daya mandiri dan berkelanjutan.

Meneroka Lanskap Filantropi: Perjalanan Reflektif

Peer-learning Event #ShiftThePower oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) yang diselenggarakan di Tewa Center, Kathmandu Nepal pada bulan Mei 2023 dihadiri aktor filantropi dari berbagai negara.

Pertemuan peer-learning #ShiftThePower yang diselenggarakan oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) di Tewa Center, Kathmandu, Nepal pada Mei 2023, menjadi ajang berkumpulnya beragam aktor filantropi dari berbagai penjuru dunia.  Tanpa saya duga, begitu saya melangkahkan kaki ke ruang yang penuh dinamika ini, timbul perjalanan mendalam menuju introspeksi dan telaah ketat mengenai dinamika kekuasaan dalam ranah filantropi. Diskusi dan wawasan yang dihasilkan menjadi pengalaman yang menantang pemikiran, mendorong saya untuk mengevaluasi pemahaman sebelumnya mengenai pentingnya organisasi semacam Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dalam kapasitas kami sebagai Organisasi Sumber Daya Masyarakat Sipil (OSMS).  

Pertemuan ini memberikan pencerahan, memperlihatkan dinamika kekuasaan yang sering kali  terabaikan dan tertanam kuat dalam organisasi perantara (intermediaries). Kami terdorong untuk mengurai dengan cermat kompleksitas ini – dan dengan penuh kesadaran mengevaluasi pengaruh kami terhadap komunitas yang kami layani. Kami merasa terpanggil untuk merenungkan apakah niat baik kami tanpa disadari memperkuat narasi yang menegasikan otonomi dan sumber daya komunitas lokal. Kini, jelas bagi saya bahwa kita harus menghapus stigmatisasi ini dan membina lingkungan di mana komunitas diakui sebagai agen perubahan aktif dan pengambil keputusan dalam pandangan mereka sendiri.

Dalam pertemuan, ditegaskan pentingnya mendepak dinamika ‘pemberi dan penerima’ sumber daya yang konvensional, serta merekonseptualisasikan kemitraan sebagai kolaborasi yang adil. Kita harus melepaskan kacamata yang sarat prasangka eksternal dan merangkul pendekatan yang lebih mengakar. Tak boleh lagi kita memaksakan solusi yang bersifat menggurui, tetapi harus berkomitmen untuk mendengarkan dengan aktif, beradaptasi, dan memberikan dukungan sejati.

Menjaga lokalitas dan kepemilikan lokal memang memiliki sejumlah tantangannya sendiri. Ini memerlukan rasa rendah hati dan dedikasi yang teguh untuk keterlibatan berkelanjutan. Namun, imbalannya sangatlah besar: lanskap filantropi yang adil dan berkelanjutan, yang memberdayakan komunitas untuk menjadi arsitek perkembangan mereka sendiri.

Seiring para peserta saling berbagi pengalaman dan wawasan, pemahaman bersama pun muncul – bahwa masyarakat sipil di wilayah selatan memiliki kapasitas luar biasa untuk menantang dan membentuk kerangka kerja berbasis otoritas dan solidaritas. Namun, untuk memahami gagasan ini, kita harus melampaui batasan ruang pertemuan konvensional dan berkomitmen untuk mewujudkan idealisme yang kita genggam. Terbatas dalam diskusi dan perumusan strategi saja tidak cukup; kita harus bersikap seperti gerakan.

Untuk mewujudkan esensi sebuah gerakan, kita harus melampaui partisipasi pasif. Untuk benar-benr membuat perbedaan, kita harus menunjukkan kemauan untuk keluar dari zona nyaman, menantang status quo, dan mengajak orang lain untuk bergabung dalam perjuangan kita menuju keadilan dan kesetaraan.

Sebagai warga Global Selatan, saya meyakini bahwa kita memiliki kewajiban yang khas untuk mendorong gerakan ini. Penting bagi kita untuk mengoptimlakna kekuatan kolektif kita, memanfaatkan kekayaan berbagai keahilan dan pengalaman untuk mendorong transformasi yang bermakna. Perubahan yang kita usahakan tidak diandalkan pada aktor atau institusi eksternal. Sebagai gantinya, kita harus beratnggung jawab atas trajektori kita sendiri dan menjadi agen transformasi dalam kapasitas kita masing-masing. Hal ini melibatkan memanfaatkan jaringan kita, baik daring maupun luring, membangun jaringan, bertukar sumber daya, dan memupuk kerja sama. Penting bagi kita untuk tak gentar menghadapi sistem dan struktur yang telah mengakar kuat dan mempertuasi ketidaksetaraan dan eksploitasi.

Kita bisa mengambil inspirasi dari sejarah yang telah membentuk dunia kita, dari perjuangan hak-hak sipil hingga perjuangan tak henti melawan kolonialisme dan penindasan sistemik. Gerakan-gerakan ini didorong oleh indiviu-individu biasa yang menolak tatanan yang ada dan berani membayangkan masa depan alternatif.

Pada akhirnya, fokus ini melampaui IKa atau lembaga lainnya. Ini mencakupi upaya kolaboratif yang melebihi batas geografis dan memberdayakan komunitas-komunitas yang kami berdedikasi untuk mendukung.

Kita harus terus berjalan bersama, menghadirkan perubahan yang berarti dan mengatasi tantangan bersama-sama. Kita menggengam tanggung jawab bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.

Tidak satupun dari kita yang hanya menjadi peserta pasif dalam skema besar kehidupan; karena kita adalah katalis perubahan dan arsitek perkembangan kita sendiri.

Artikel ini merupakan tulisan reflektif dari kegiatan Peer-learning Event GFCF tentang gerakan #ShiftThePower. Tulisan ini juga tayang  dalam Bahasa Inggris dan dapat diakses melalui website GFCF.

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!