Meneroka Lanskap Filantropi: Perjalanan Reflektif

Peer-learning Event #ShiftThePower oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) yang diselenggarakan di Tewa Center, Kathmandu Nepal pada bulan Mei 2023 dihadiri aktor filantropi dari berbagai negara.

Pertemuan peer-learning #ShiftThePower yang diselenggarakan oleh Global Fund for Community Foundations (GFCF) di Tewa Center, Kathmandu, Nepal pada Mei 2023, menjadi ajang berkumpulnya beragam aktor filantropi dari berbagai penjuru dunia.  Tanpa saya duga, begitu saya melangkahkan kaki ke ruang yang penuh dinamika ini, timbul perjalanan mendalam menuju introspeksi dan telaah ketat mengenai dinamika kekuasaan dalam ranah filantropi. Diskusi dan wawasan yang dihasilkan menjadi pengalaman yang menantang pemikiran, mendorong saya untuk mengevaluasi pemahaman sebelumnya mengenai pentingnya organisasi semacam Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dalam kapasitas kami sebagai Organisasi Sumber Daya Masyarakat Sipil (OSMS).  

Pertemuan ini memberikan pencerahan, memperlihatkan dinamika kekuasaan yang sering kali  terabaikan dan tertanam kuat dalam organisasi perantara (intermediaries). Kami terdorong untuk mengurai dengan cermat kompleksitas ini – dan dengan penuh kesadaran mengevaluasi pengaruh kami terhadap komunitas yang kami layani. Kami merasa terpanggil untuk merenungkan apakah niat baik kami tanpa disadari memperkuat narasi yang menegasikan otonomi dan sumber daya komunitas lokal. Kini, jelas bagi saya bahwa kita harus menghapus stigmatisasi ini dan membina lingkungan di mana komunitas diakui sebagai agen perubahan aktif dan pengambil keputusan dalam pandangan mereka sendiri.

Dalam pertemuan, ditegaskan pentingnya mendepak dinamika ‘pemberi dan penerima’ sumber daya yang konvensional, serta merekonseptualisasikan kemitraan sebagai kolaborasi yang adil. Kita harus melepaskan kacamata yang sarat prasangka eksternal dan merangkul pendekatan yang lebih mengakar. Tak boleh lagi kita memaksakan solusi yang bersifat menggurui, tetapi harus berkomitmen untuk mendengarkan dengan aktif, beradaptasi, dan memberikan dukungan sejati.

Menjaga lokalitas dan kepemilikan lokal memang memiliki sejumlah tantangannya sendiri. Ini memerlukan rasa rendah hati dan dedikasi yang teguh untuk keterlibatan berkelanjutan. Namun, imbalannya sangatlah besar: lanskap filantropi yang adil dan berkelanjutan, yang memberdayakan komunitas untuk menjadi arsitek perkembangan mereka sendiri.

Seiring para peserta saling berbagi pengalaman dan wawasan, pemahaman bersama pun muncul – bahwa masyarakat sipil di wilayah selatan memiliki kapasitas luar biasa untuk menantang dan membentuk kerangka kerja berbasis otoritas dan solidaritas. Namun, untuk memahami gagasan ini, kita harus melampaui batasan ruang pertemuan konvensional dan berkomitmen untuk mewujudkan idealisme yang kita genggam. Terbatas dalam diskusi dan perumusan strategi saja tidak cukup; kita harus bersikap seperti gerakan.

Untuk mewujudkan esensi sebuah gerakan, kita harus melampaui partisipasi pasif. Untuk benar-benr membuat perbedaan, kita harus menunjukkan kemauan untuk keluar dari zona nyaman, menantang status quo, dan mengajak orang lain untuk bergabung dalam perjuangan kita menuju keadilan dan kesetaraan.

Sebagai warga Global Selatan, saya meyakini bahwa kita memiliki kewajiban yang khas untuk mendorong gerakan ini. Penting bagi kita untuk mengoptimlakna kekuatan kolektif kita, memanfaatkan kekayaan berbagai keahilan dan pengalaman untuk mendorong transformasi yang bermakna. Perubahan yang kita usahakan tidak diandalkan pada aktor atau institusi eksternal. Sebagai gantinya, kita harus beratnggung jawab atas trajektori kita sendiri dan menjadi agen transformasi dalam kapasitas kita masing-masing. Hal ini melibatkan memanfaatkan jaringan kita, baik daring maupun luring, membangun jaringan, bertukar sumber daya, dan memupuk kerja sama. Penting bagi kita untuk tak gentar menghadapi sistem dan struktur yang telah mengakar kuat dan mempertuasi ketidaksetaraan dan eksploitasi.

Kita bisa mengambil inspirasi dari sejarah yang telah membentuk dunia kita, dari perjuangan hak-hak sipil hingga perjuangan tak henti melawan kolonialisme dan penindasan sistemik. Gerakan-gerakan ini didorong oleh indiviu-individu biasa yang menolak tatanan yang ada dan berani membayangkan masa depan alternatif.

Pada akhirnya, fokus ini melampaui IKa atau lembaga lainnya. Ini mencakupi upaya kolaboratif yang melebihi batas geografis dan memberdayakan komunitas-komunitas yang kami berdedikasi untuk mendukung.

Kita harus terus berjalan bersama, menghadirkan perubahan yang berarti dan mengatasi tantangan bersama-sama. Kita menggengam tanggung jawab bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi seluruh masyarakat.

Tidak satupun dari kita yang hanya menjadi peserta pasif dalam skema besar kehidupan; karena kita adalah katalis perubahan dan arsitek perkembangan kita sendiri.

Artikel ini merupakan tulisan reflektif dari kegiatan Peer-learning Event GFCF tentang gerakan #ShiftThePower. Tulisan ini juga tayang  dalam Bahasa Inggris dan dapat diakses melalui website GFCF.

CALLING FOR DONATION: GIVE BACK SALE ONLINE PUNDI PEREMPUAN

Hai Sahabat IKa,

Yuk, donasikan baju dan barang-barangmu untuk perempuan!

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui Pundi Perempuan kembali membuka donasi barang pre-loved untuk Give Back Sale (GBS) Online Pundi Perempuan. Hasil penjualan GBS akan disalurkan untuk Women’s Crisis Center (WCC) yang membantu pendampingan dan pemulihan perempuan korban kekerasan.

Kamu bisa berdonasi berupa barang (sepatu, baju, aksesories, tas, dompet atau apapun) dalam kondisi baik.

Batas pengumpulan donasi barang: 12 April 2022.

Antar atau drop donasimu ke alamat:
Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa)
Ke:Kini Coworking Space
Jl. Cikini Raya No. 43/45, Menteng, Jakarta Pusat
Kontak: IKa – 081386735816

Nilai dalam Pertemuan Hati

Dalam layar belakang terpasang beberapa foto, diantaranya orang-orang yang saling berangkulan. Tahukah sejarah yang melatarinya? Sepenting apa Silaturahmi Kebangsaan yang akan dilaksanakan esok di Desa Sedie Jadi?

17 tahun sudah Aceh Damai, sementara tragedi Pondok Kresek (5 Juni 2001) di Sedia Jadi telah berlalu 21 tahun lamanya. Lalu apa? Ternyata peluang saling duga masih sangat besar. Pengetahuan mengenai konflik dan perdamaian lah menumbuhkan kesadaran para pihak. Bahwa memutus rantai konflik demi perdamaian abadi untuk anak cucu menjadi sangat mendesak untuk dilakukan.

Para pihak telah berjumpa tak hanya sekali, bercerita, membuka hati dan bersepakat saling memaafkan. Ini adalah pertemuan hati. Dilakukan dengan kesadaran dan sukarela.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60939548

Organisasi Transpuan Fajar Sikka: Titik Terang dalam Kegelapan Banjir Lembata dan Adonara

Beragam bentuk kepedulian serta aksi solidaritas dilaksanakan, menanggapi bencana Banjir Lembata dan Adonara yang berlangsung pada bulan April lalu. Salah satu yang mengambil peran penting tersebut oleh Bunda Mayora Victoria yang bersama dengan Fajar Sikka, organisasi dari kelompok transpuan lokal yang didirikan Bunda pada tahun 2018 di Maumere, Sikka. Bunda Mayora atau dikenal juga sebagai pejabat public transpuan pertama di Indonesia merupakan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bunda bersama teman-temannya, Ibu Yolanda, Ibu Paulina dari Fajar Sikka dengan Ibu Venti, Ibu Intan dan Ibu Bening dari Lembata, juga IKatan WAria Larantuka (IKWAL) berada di garis depan, menyalurkan bantuan-bantuan pokok seperti air bersih, sembako, obat-obatan, masker, pakaian untuk dewasa hingga anak-anak, pakaian dalam dan perlengkapan wanita pasca berlangsungnya banjir. Mulai dari tiga hingga empat hari pertama, di akhir bulan April, hingga di bulan Juni ini, Bunda bersama teman-temannya bahu membahu dalam membantu masyarakat Adonara dan Lembata berdiri kembali setelah dilanda banjir.

Dua bulan pasca banjir, Adonara dan Lembata telah memasuki tahap rekonstruksi. Peninjauan dan pendataan terhadap sekolah, infrastruktur, serta perumahan yang rusak kian berlangsung. Ketika menanti proses pembangunan kembali, banyak masyarakat lokal berpindah dari posko darurat ke perkebunan keluarga. Pembangunan rumah sederhana menggunakan bambu dan pondasi yang terdiri dari 1-2 kamar, juga sudah didukung pemerintah. 

Perhatian khusus terutama diberikan untuk masyarakat Ile Ape yang menyaksikan bagaimana desa mereka tersapu bersih. Bunda dan teman-temannya memberikan terapi pemulihan untuk para anak-anak yang berumur mulai dari 2 tahun, kelas 5 SD dan ada juga SMP. Banyak dari anak-anak merasakan ketakutan terhadap air dan angin setelah banjir bandang tersebut. Cerita air dan angin yang dibawakan oleh Bunda bersama teman-temannya mengingatkan kepada anak-anak bagaimana fungsi air dan angin bermanfaat baik bagi kehidupan. Melalui permainan mengenai cara-cara membuat angin sejuk, Bunda menyentuh anak-anak tersebut. Tak lupa character building juga menjadi fokus lainnya dalam sesi terapi tersebut. Hingga kini, kegiatan ini telah mengajak 40 hingga 50 anak untuk bergabung. 

Tak hanya itu, membuat perekonomian berdiri kembali juga menjadi salah satu misi Fajar Sikka disini. Fajar Sikka mendistribusikan bantuan kepada kelompok tenun ikat berupa modal usaha seperti bantalan benang dan kapas untuk membuat kain tenun, yang bernilai sebesar 400 ribu rupiah. Selama kunjungan ke posko darurat, Bunda juga melakukan penyuluhan soal protokol kesehatan Covid-19 yang tetap harus terjaga, pembagian masker guna menghentikan penyebaran rantai Covid-19.

Bantuan yang diberikan oleh Bunda beserta kawan-kawannya disambut dengan baik oleh masyarakat Desa Amakaka, Ile Ape dan juga Oyong Barang. Bunda telah menyalurkan bantuan kepada 60 hingga 90 Kepala Keluarga di masing-masing desa tersebut. Melalui hasil arisan yang Bunda galang bersama teman-temannya serta cerita-cerita bencana yang dibagikan di berbagai kanal, Bunda memperoleh bantuan-bantuan yang siap disalurkan untuk masyarakat terdampak. 

Tetapi, selama proses pembagian bantuan, Bunda juga dihadapkan dengan tantangan-tantangan seperti perjalanan jarak tempuh yang jauh dari Maumere ke Sikka yang membutuhkan waktu selama 4 jam perjalanan sehingga Bunda perlu berangkat  pagi buta pukul 2 dini hari dan terkadang juga pukul 4 pagi untuk sampai di Sikka. Untungnya, daerah NTT masih tergolong daerah yang cukup aman sehingga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan ketika bepergian di pagi hari. Selain itu, juga ditemui kecemburuan-kecemburuan sosial yang terjadi ketika adanya perbedaan yang disebabkan penyesuaian dalam distribusi bantuan. Ada duka namun ada pula suka seperti cerita jenaka yang dibagikan Bunda ketika di lapangan. Banyak yang mengira para transpuan adalah kelompok yang rentan dan feminin, tetapi, ketika Bunda mendatangi dapur umum pengungsian dan dihadapkan dengan hal mendesak yang mengharuskan Bunda mengangkat beras. Bunda dengan sigap memanggul beras yang hal tersebut tentunya menjadi satu cerita jenaka bagi Bunda dan para pengungsi yang melihatnya. 

Aksi solidaritas yang dilakukan Bunda Mayora dalam bencana Banjir Lembata dan Adonara ini bukanlah yang pertama kalinya. Melainkan, keaktifan sosial Bunda telah berlangsung sejak sebelum pendirian Fajar Sikka di tahun 2018. Bantuan sosial hanya salah satu dari kegiatan sosial yang dilakukan Fajar Sikka. Kegiatan lainnya berupa advokasi yang menarget kelompok minoritas yang meliputi kaum transpuan, kaum disabilitas, lansia serta janda sebagai target utama aktivitas sosial Fajar Sikka. Harapannya, melalui kegiatan advokasi, kelompok minoritas dapat memperoleh KTP, bantuan sosial BST, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Sikka Sehat serta hak dasar lainnya. Bunda juga menyalurkan bantuan lainnya seperti modal usaha untuk sesama kaum transpuan agar mendorong partisipasi aktif kaum transpuan dalam roda ekonomi Nusa Tenggara Timur.

Mekanisme kerja Fajar Sikka amat mencerminkan kisah kelahiran Fajar Sikka yang tumbuh dari rasa keprihatinan selama perjalanan Bunda Mayora menjadi transpuan. Bunda melihat begitu banyak kekerasan terhadap transpuan ketika di Jogja bahkan saat sedang mengamen untuk menafkahi diri sendiri. Keprihatinan karena melihat diri dan teman-teman transpuan lainnya tidak memiliki KTP, tidak bisa memperoleh hak dasar karenanya, serta tidak bisa berekspresi. Menurut Bunda Mayora kebaikan tersebut perlu untuk melunturkan stigma dan memperjuangkan inklusi, “Pengalaman kebaikan sudah didapatkan ketika kecil sampai besar. Saya pernah merasakan hidup berkelimpahan. Kemudian, ketika jadi transpuan, hidup sangat sederhana, banyak stigma, diskriminasi, dan juga sesuatu yang kurang pas. Sehingga saya pikir mau sampai kapan benci dengan keadaan. Bahwa ini lah hidup. (Selama) hidup ini, marilah kita lakukan kebaikan. Kita pergi tidak bawa apa2. Semua orang berhak akan kebaikan dari semesta, dari Tuhan. Saya juga mengalami kesehatan berkat penerimaan.”

Berawal dari inklusi, Bunda Mayora beserta teman-teman Fajar Sikka terlibat aktif di masyarakat melalui kader posyandu, bekerja di dapur umum dan mendukung KLB. 

Saya menjangkau teman Katolik, waria Muslim, janda Muslim, Protestan. Inilah toleransi, dengan kerentanan kami tidak membatasi, kami melakukan perbuatan baik, kebencian runtuh dan pemerintah terima kami. Sejak 2018 hingga sekarang, bagaimana pun konsep gender yang dulu laki dan perempuan, datang dari keluarga yang tidak dipikirkan, yang orang dulu cuma pikir tahunya (hanya) masak, salon, perempuan dengan pekerjaan (liar), tapi sekarang banyak orang yang support, hidup makin bisa berdampingan, tambah Bunda. 

Pada akhirnya, Bunda Mayora, Fajar Sikka tidak hanya membawa pelita dalam bencana Banjir Lembata dan Adonara. Tetapi, juga penerang dalam kegelapan yang dihadapi oleh para kelompok minoritas terutama kaum transpuan di Sikka. 

Foto: by Bunda Mayora

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!