Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1444 H, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) di bawah program Pundi Insani menggalang donasi dari tanggal 4 – 17 April 2023 bertajuk Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah. Penggalangan ini IKa lakukan bekerja sama dengan komunitas Solidaritas Indonesia, komunitas yang beranggotakan para penyintas dan keluarga penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu (tragedi 1965). Distribusi donasi ditujukan untuk para pemanfaat di wilayah Jabodetabek.
Ibu Uchi, sapaan dari pemilik nama lengkap Utjikowati Fauzia, merupakan koordinator komunitas Solidaritas Indonesia. Beliau mengajak staf IKa untuk turut mengantarkan donasi secara langsung kepada beberapa ‘mbah’, sekaligus bersilaturahmi. Stella Anjani bersama Astramus Tandang sebagai perwakilan dari IKa, bersama Bu Uchi mengunjungi tiga dari total tujuh orang penyintas pemanfaat program donasi Pundi Insani.
“Saya tidak lihat nominalnya. Donasi ini saya terima sebagai tanda kepedulian kepada kami,” ujar Ibu Utati penuh rasa syukur. Kini Bu Utati berusia 79 tahun. Di waktu berusia 22 tahun, beliau selama 11 tahun dipenjara tanpa sekalipun menjalani persidangan. Pemenjaraan tersebut lantaran Bu Utati terlibat dalam organisasi Pemuda Rakyat. “Padahal saya ikut karena suka menari dan menyanyi, begitu saja” kenangnya sambil tersenyum.
Kedua penyintas tragedi 1965 lainnya yang dikunjungi Bu Uchi bersama perwakilan IKa adalah Bapak Madarif (74 tahun) dan Harun Sulaiman (81 tahun). Berbeda dengan Bu Utati yang menjalani masa penjara di Jakarta, Bukit Duri, Pak Darip dan Pak Harun diasingkan ke Pulau Buru. Perbedaan usia yang cukup jauh antara kedua Bapak ketika menghabiskan masa mudanya di pengasingan, membuat Pak Harun sempat berseloroh, “kalau saya besar di neraka, bisa dibilang Pak Darip ini lahirnya di neraka”.
Di rumah Pak Darip, sambil menyantap sajian berbuka puasa, kedua Bapak menceritakan pengalaman hidup mereka. Sedikit berbeda dari Pak Harun yang bertutur tenang, Pak Darip berkisah penuh semangat seolah apa yang dialaminya di Pulau Buru baru terjadi kemarin. Pak Harun menyampaikan bahwa kedua anaknya telah meninggal mendahului dirinya. Walau kehilangan masih terasa dalam pertanyaan Pak Harun, mengapa anaknya pergi dahulu, tetapi semangat dan optimisme Pak Harun untuk menjalani hidup lebih kuat terasa. Pak Harun menawarkan jika ada teks-teks kuno beraksara Jawa yang ingin diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, beliau dapat melakukannya. Selain sastra Jawa, beliau juga menguasai tembang Jawa.
Di akhir kunjungan, Bu Uchi menyampaikan keinginannya untuk melakukan preservasi berbagai peninggalan dari para penyintas tragedi 1965. Tidak hanya buku-buku koleksi para penyintas, tetapi juga berbagai arsip karya intelektual para penyintas seperti lagu, puisi, dan catatan harian. Harapannya penyimpanan atas memorabilia tersebut, sekaligus juga merawat ingatan sejarah bangsa.