
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh mencatat sebanyak 1.227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh sepanjang tahun 2024 (Sumber: The Aceh Post (https://theacehpost.com/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-di-aceh-meningkat-tahun-2024-tertinggi-di-aceh-utara/)).
Angka ini meningkat dari jumlah 1.098 kasus pada tahun sebelumnya (ibid). Wilayah Aceh menjadi saksi banyak perempuan yang mengalami kekerasan juga bergantung secara ekonomi pada pelaku (Sumber: Laporan kunjungan Mitra Dayah Diniyah Darussalam, Dokumentasi Indonesia untuk Kemanusiaan.). Karena ketergantungan ekonomi tersebut, upaya melapor justru dapat memperbesar risiko yang dihadapi penyintas.
Dalam konteks Aceh, penguatan layanan perlindungan anak di pesantren merupakan investasi penting untuk memastikan tumbuh kembang santri dalam lingkungan yang sehat, aman, dan menyenangkan. Langkah ini juga menjadi bentuk nyata dari komitmen pesantren untuk memastikan anak-anak di lingkungan pesantren terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam hal ini, Dayah Diniyah Darussalam di Kabupaten Aceh Barat menjadi contoh nyata, menghadirkan ruang aman bagi perempuan dan anak yang mencari jalan keluar dari kekerasan, sekaligus memperkuat komitmen pesantren dalam perlindungan dan pemberdayaan mereka.
Bagi Dayah Diniyah, dukungan Pundi Perempuan merupakan hibah pertama yang diterima dayah dari sumber luar, sejak Dayah berdiri di tahun 2010 lalu. Selain Dayah Diniyah, pemrakarsa Pundi Perempuan 2024 terdiri dari 7 pengada layanan lain yang tersebar di daerah Sumatra, Jawa, NTT, dan Maluku.
Tim IKa berkesempatan mengunjungi pesantren yang berada di ke Aceh Singkil dan Subulussalam pada 27-31 Oktober 2025. Kunjungan ini bukan hanya menjadi bagian dari siklus rutin manajemen program, melainkan bertujuan menyimak cerita, memahami proses pendampingan, dan menggali pembelajaran di lapangan. Dayah Diniyah telah mendampingi 43 penyintas selama April hingga Agustus 2024 dengan berbagai jenis kasus terkait kekerasan. Umi Hanisah (pimpinan Dayah Diniyah) dan para relawan melakukan pemulihan penyintas yang bersifat holistik; menemani dari proses awal, memulihkan trauma, hingga memastikan penyintas punya akses ke pendidikan dan penghidupan yang layak.
Umi mengembangkan kurikulum yang memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan gender, serta keterampilan hidup. Ada pelajaran tambahan tentang kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, dan pelatihan vokasi seperti pertukangan dan perbengkelan. Materi-materi ini tidak diberikan secara formal atau terstruktur ketat. Umi menyelipkan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam obrolan, pengajian, dan tafsir ayat-ayat Al Quran yang dibawakan sebagai materinya. Baginya, pemahaman mengenai isu ini tidak tumbuh dari ceramah satu arah, melainkan dari keseharian yang memberi ruang untuk bertanya dan memahami.
Pendekatan pendampingan juga dilakukan secara hati-hati dengan menjaga kerahasiaan penyintas. “Data orang hanya Umi simpan di kepala. Sebagian dikasih ke A, B, C. Tolong simpan ini, tapi jangan di ponsel. Kalau hilang, bahaya nyawa orang”, tegas Umi Hanisah .
Dalam pelaksanaan program, Dayah Diniyah tak bekerja sendirian. Umi menghubungkan diri dengan jejaring lokal, termasuk Pondok Pesantren Raudatul Jannah dan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kota Subulussalam. Jaringan ini penting untuk memperkuat dukungan psikologis, advokasi hukum, dan pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan Ekonomi menjadi salah satu kegiatan Dayah Diniyah. Pesantren ini mengelola kebun sayur organik di lahan sebelah timur kantor dan asrama putri serta di tanah wakaf di seberang jalan untuk menopang operasional dayah dan menanam kangkung, bayam, singkong, jagung, dan bumbu dapur tanpa pupuk kimia. Hasil kebun tersebut menjadi sumber pangan utama bagi santri dan keluarga Umi, dengan sebagian dijual ke warga sekitar.
Advokasi juga menjadi fokus Dayah Diniyah. Hal ini terpicu dengan lemahnya perlindungan hukum yang memicu tingginya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Provinsi Aceh, dimana hanya lima dari 23 kabupaten/kota -Langsa, Aceh Besar, Aceh Barat, Banda Aceh, dan Bireuen- yang memenuhi kriteria Layak Anak, sedangkan sebagai provinsi belum memenuhi syarat (Sumber: kompas.id (https://www.kompas.id/baca/desk/2021/06/04/darurat-perlindungan-anak-di-aceh). Umi Hanisah, yang juga anggota MPU Aceh Barat, mengadvokasi kebijakan penanganan kekerasan, terutama di Aceh Barat yang menjadi kabupaten darurat kekerasan; serta mengaktifkan kembali jejaring kerja sama dengan pemerintah daerah dan sektor swasta. Sementara itu, Dayah Diniyah menonjolkan budaya kerelawanan dan kemandirian yang unik: hingga saat ini, guru-guru di dayah tak menerima gaji tetap. Mereka mengabdi dengan kepercayaan dan dukungan dari para donatur, wakaf, atau sedekah yang datang di waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan atau hari raya. Sementara itu, relawan-relawan turut membantu sebagai konselor, penasihat hukum, bahkan pengelola program. Harapan dari Dayah Diniyah, IKa dapat memfasilitasi forum berbagi antar mitra, memperkuat jejaring, dan membuka peluang kolaborasi, terutama dalam peningkatan kapasitas pendamping. Penguatan ini menjadi krusial, khususnya dalam aspek hukum dan kesehatan mental, mengingat semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi penyintas dan pendamping di lapangan.
Dayah Diniyah menegaskan bahwa pendampingan harus tetap berjalan meski tanpa dukungan hibah, dengan melakukan berbagai upaya untuk memastikan keswadayaan dayah, seperti penggalangan dana publik dan sistem ekonomi berbasis komunitas. Selain itu, jaringan sosial dan ekonomi yang dibangun oleh Umi tidak hanya membuka jalan pemulihan bagi banyak santri, tetapi juga memastikan mereka dapat mengakses pendidikan dan pekerjaan di kemudian hari. Dari sini, penyintas mulai merancang kembali masa depan mereka, berdaya dalam ekosistem yang mendukung pemulihan dan keberlanjutan jangka panjang.