LBH APIK NTT Melawan Gelombang Kekerasan terhadap Perempuan

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Lembaga Bantuan Hukum APIK NTT (LBH APIK NTT) hadir sebagai salah satu garda terdepan dalam merespon kasus kekerasan berbasis gender. Dengan angka kasus yang terus meningkat, LBH APIK NTT memainkan peran penting dalam memberikan bantuan hukum dan pemulihan psiko-sosial bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender.

Angka kasus yang dilaporkan mengkhawatirkan. Di tahun 2022, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi NTT menerima 287 laporan kekerasan berbasis gender. LBH APIK NTT pun mengalami peningkatan kasus, dengan jumlah kasus yang dilaporkan melonjak dari 36 pada tahun 2021 menjadi 71 pada tahun 2022.

LBH APIK NTT juga menceritakan bagaimana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), meskipun mempunyai kedudukan nasional, menghadapi hambatan dalam konteks lokal. Kegagalan aparat penegak hukum setempat dalam mengenali dan menerapkan peraturan ini menyebabkan LBH APIK NTT tidak mempunyai perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan kekerasan berbasis gender yang mendesak secara efektif.

Kurangnya pengakuan ini membuat seluruh proses bantuan hukum yang diberikan LBH APIK NTT terhambat. Para korban, yang sudah berada dalam situasi rentan, mendapati jalan mereka menuju keadilan terhambat oleh kesenjangan birokrasi. Tidak adanya pedoman dan peraturan yang jelas membuat korban dan pendamping berada dalam posisi yang sulit.

Norma budaya patriarki yang mengakar berkontribusi terhadap tantangan yang dihadapi perempuan di wilayah tersebut. LBH APIK NTT mengemban tanggung jawab memberikan pendampingan litigasi maupun non-litigasi kepada korban yang terjebak dalam siklus kekerasan. Keterbatasan sumber daya menambah kesulitan, menghambat kemampuan lembaga pengada layanan ini untuk menyediakan layanan psikologis dan kesehatan yang komprehensif.

Kolaborasi dengan lembaga pengada layanan lain menjadi penting untuk memperluas akses terhadap layanan dan mengatasi tantangan logistik yang ditimbulkan oleh luasnya geografi wilayah NTT. LBH APIK NTT secara aktif menjalin kemitraan untuk menjembatani kesenjangan sumber daya, memastikan bahwa perempuan di daerah paling terpencil sekalipun menerima dukungan yang mereka butuhkan.

Pada tahun 2022, LBH APIK NTT mendapat dukungan dari Pundi Perempuan, memfasilitasi pemberian dukungan psikologis bagi korban, mendukung pengoperasian rumah aman, dan memenuhi kebutuhan transportasi. Kemitraan ini mendukung LBH APIK NTT untuk menangani 35 kasus, menawarkan pendampingan dan tempat berlindung yang aman bagi para korban.

LBH APIK NTT menyadari pentingnya jaringan dalam menciptakan perubahan yang bertahan lama. Berkolaborasi dengan paralegal dari Aliansi Laki-Laki Baru, lembaga ini memberikan asistensi kasus dan mediasi di desa-desa. Kolaborasi ini pun memperluas cakupan advokasi serta memperkuat upaya untuk memengaruhi norma dan sikap sosial yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

Dari 35 kasus yang ditangani LBH APIK NTT, dua kasus melibatkan perempuan dari kelompok rentan, yakni komunitas LGBT dan penyandang disabilitas. Hal ini mendorong LBH APIK NTT untuk meningkatkan kapasitas internal dalam membantu kelompok marginal dan memperluas jaringan mereka agar dapat melayani kebutuhan unik mereka dengan lebih baik.

LBH APIK NTT berdiri untuk membina komunitas yang memiliki tanggung jawab bersama dan upaya kolaboratif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dedikasi lembaga ini dalam memberikan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan berbasis gender, ditambah dengan kolaborasi strategis, mencerminkan komitmen yang kuat untuk memutus siklus kekerasan dan mendorong perubahan positif dalam kehidupan perempuan di NTT.

Serah Terima Bingkisan Idul Fitri untuk Si Mbah, Pegiat Kesenian Banyuwangi

Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1445 H, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) di bawah program Pundi Insani menggalang donasi dari tanggal 19 Maret – 2 April 2024 bertajuk Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah, Penyintas Peristiwa ‘65. Pada tahun sebelumnya, IKa mendistribusikan Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan diskusi di internal IKa dengan Tim Pengarah Pundi Insani, tahun ini IKa mendistribusikan Bingkisan Hari Raya ke wilayah Banyuwangi melalui komunitas Layar Kumendung, sebuah komunitas seni yang merupakan hasil inisiatif dari sebagian penyintas peristiwa 1965/1966 bersama sejumlah individu dari berbagai latar belakang. Layar Kumendung, melalui komunitas Angklung Soren yang dikelolanya, menjadikan seni sebagai cara untuk menghadirkan kemanusiaan melalui aktivitas pelestarian kesenian Banyuwangi. 

Bapak Slamet Abdul Radjat, Ketua Pengurus Layar Kumendung, adalah pegiat kesenian Banyuwangi. Beliau juga adalah pencipta tarian Genjer-Genjer dan karya terbarunya adalah Tarian Perawan Sunting. Meskipun termasuk dalam kelompok yang terkena stigma peristiwa ‘65, beliau tidak pernah kenal lelah berkesenian serta melestarikan kebudayaan Banyuwangi melalui sanggar asuhannya bahkan hingga usia senja. Melalui Pak Slamet, bingkisan hari raya diberikan kepada 26 lansia penyintas yang berada di Banyuwangi, Ketapang, Glagah, dan Giri.

Saat melakukan pembagian bingkisan, Pak Slamet berperan sebagai koordinator dan membaginya melalui dua skema. Skema pertama, para penyintas sebagai penerima bingkisan berkumpul langsung di Sanggar ataupun di rumah Pak Slamet. Kedua, Pak Slamet mendatangi langsung ke rumah para penerima. Hal ini ternyata semakin memperkuat solidaritas di antara para penyintas pelanggaran berat HAM. Pemberian donasi dilakukan sejak tanggal 7 April 2024, para penyintas merasa bahagia menerima karena merasa ada yang masih memiliki kepedulian terhadap mereka.

Terima kasih, semoga diparingi rezeki dan sehat kanggo donatur. Kami senang atas kepedulian yang diberikan terhadap kami. Berapapun nominal tidak menjadi persoalan,” ungkap Ibu Slamet menyampaikan kesan dari para penerima donasi yang sudah memasuki usia senja. 

Beberapa penyintas juga masih aktif dalam berkesenian. Namun yang menjadi kerisauan mereka adalah kurangnya pendokumentasian atas hasil seni yang dihasilkan. Sejauh ini, mereka merawat ingatan dengan bertutur serta mengajarkan kepada kaum muda kesenian Banyuwangi baik dari tarian maupun permainan alat musik seperti angklung, kesenian yang sedianya dikenal berasal dari Jawa Barat, ternyata terdapat juga di Banyuwangi dengan nama Angklung Banyuwangian dan sudah ada sejak zaman Kerajaan Blambangan.

Pak Slamet kembali menyampaikan harapannya kepada Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan secara umum kepada instansi atau lembaga terkait untuk mendukung dan memfasilitasi proses pendokumentasian karya seni dari Layar Kumendung dan Sanggar Angklung. Harapannya hal ini dapat merawat Sejarah bangsa dan menjaga kelestarian kesenian Banyuwangi.

YABIKU: Mendampingi Perempuan, Mengubah Komunitas

Yayasan Amnaut Bife “Kuan” (YABIKU), telah menjadi jaring pengaman bagi perempuan dan anak sejak tahun 2001 di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Sebagai satu-satunya Lembaga Pengada Layanan di kabupaten ini, tim YABIKU terdiri dari 146 penyedia layanan yang tersebar di 145 desa. Tim ini bekerja keras untuk mendukung perempuan yang mengalami kekerasan.

Sejak September 2022 hingga Februari 2023, YABIKU menangani 28 kasus perempuan korban kekerasan. Secara mengejutkan, setengah dari kasus tersebut terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga, menyoroti masalah serius di dalam komunitas.

Berbasis di lingkungan yang melihat kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai aib, YABIKU mengambil pendekatan proaktif. Mereka tanpa henti melakukan kegiatan peningkatan kesadaran – dan ini membuahkan hasil. YABIKU melihat lebih banyak masyarakat yang bergerak, menelepon untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan mereka. Perubahan sikap ini menandai titik balik di mana masyarakat melihat kekerasan terhadap perempuan bukan lagi sebagai masalah pribadi, tetapi sebagai sesuatu yang harus diatasi bersama.

YABIKU memahami pentingnya memberdayakan korban. Apakah penyelesaian dilakukan melalui jalur hukum atau tidak, sepenuhnya tergantung pada korban. Satu yang pasti, YABIKU ada di sana, memberikan dukungan, bukan hanya dalam masalah hukum tetapi juga menawarkan kekuatan emosional yang penting bagi korban dan keluarganya.

Melalui pekerjaan mereka, YABIKU telah melihat sendiri bagaimana sistem pendukung dapat mengubah hidup. Korban, dengan dukungan yang tepat, merasa diberdayakan, setara di mata hukum, dan bahkan memiliki keberanian untuk menuntut hak-hak mereka.

Sebagai satu-satunya Lembaga Pengada Layanan di Kabupaten Timor Tengah Utara, YABIKU tidak hanya mengubah hidup; mereka membuat perbedaan dalam komunitas dengan mengakhiri keheningan seputar kekerasan terhadap perempuan. YABIKU adalah tempat di mana korban menemukan dukungan, kelegaan, dan keadilan yang seharusnya mereka terima. YABIKU membuat gelombang, tidak hanya mengubah hidup individu tetapi juga komunitas secara keseluruhan.

Sekilas Kisah Sumiyati Penyintas 65

Kesukaannya berorganisasi membawa Sumiyati muda menjadi sekretaris Gerwani termuda di wilayah Klaten. Posturnya yg mungil membuat dia gesit, lincah dan memudahkan menjalani semua aktivitas organisasi. Bahagia dan penuh suka cita di masa itu. Namun sungguh tak menyangka kesukaannya berorganisasi ini telah membuat derita seumur hidupnya.

Sumiyati dipenjara pada usia 17 tahun dengan tuduhan menjadi anggota partai terlarang, dia menyerahkan diri karena tidak tahan mendengar siksaan pada rekannya di Polsek Jatinom Klaten. Di dalam tahanan Sumiyati pun menerima berbagai macam siksaan baik fisik maupun psikologis. Hal itulah yang menempa pribadi Sumiyati menjadi seorang srikandi tangguh yang kokoh bekerja atas nama kemanusiaan.

Sekelumit kisah hidup Sumiyati salah satu korban pelanggaran HAM berat masa lalu tragedi 65/66 bisa menjadi contoh terbaik buat kamu yang ingin terjun dalam kerja-kerja kemanusiaan salah satunya melalui program #bettertogether kerja sama Sekber’65 dan IKa yang didukung oleh VOICE.

Untuk versi lengkap tentang kisah inspiratif Sumiyati kamu bisa mengunjungi website Sekber’65 di www.sekber65.org.

Atau bisa juga membeli buku perjalanan hidup Sumiyati dan srikandi-srikandi tangguh lainnya.

Cerita Perubahan Desa Morodemak

Desa Morodemak , Bonang, Demak, Jawa Tengah adalah desa nelayan yang dipenuhi dengan kemiskinan penduduknya. Para perempuan nelayan disana selain hidup miskin, harus menghadapi tengkulak, juga terkungkung budaya patriarki. Perempuan dianggap sebagai konco wingking yang tidak perlu bersekolah tinggi, jauh dari akses pendidikan termasuk dalam hal pengambilan keputusan.

Pekerjaan para perempuan nelayan dalam menghadang bahaya di laut hanya dianggap sebagai membantu suami. Tidak ada jaminan biaya berobat, perawatan, tanggungan cacat atau kematian ketika ditabrak kapal lain atau di mangsa hewan laut pada saat bekerja

Rata-rata pendidikan perempuan nelayan ini hanya bersekolah hingga sekolah dasar, bahkan beberapa tidak bersekolah. Perempuan yang terlibat dalam organisasi juga dianggap bukan perempuan baik, dimitoskan sebagai perempuan yang tidak mau mengurus rumah tangga.

Kondisi kemiskinan, pendapatan ekonomi nelayan yang tak menentu membuat para perempuan nelayan kemudian menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan nelayan yang menjadi korban KDRT ini sangat tinggi jumlahnya, apalagi mereka hidup di lingkungan nelayan yang sangat keras. Kondisi ini berdampak pada perempuan yang menderita secara psikis dan anak-anak nelayan yang putus sekolah.

Masnuah terlahir di Rembang pada tahun 1974. Ayahnya seorang nelayan dan ibunya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dari kecil, Masnuah terbiasa melihat kehidupan nelayan, di mana pada saat bersamaan ia pun semakin dekat dengan lingkaran kemiskinan nelayan, tengkulak dan budaya patriarki. Masnuah menikah di umur 18 tahun dengan salah seorang nelayan dari Morodemak, Jawa Tengah, Su’udi.

Karena melihat lingkungan sekitarnya di mana nelayan acapkali pulang tanpa hasil, terlilit hutang, dan kondisi perempuan nelayan yang banting tulang mencari hutang, Masnuah tergerak untuk menginisiasi gerakan perubahan untuk perempuan nelayan di kampungnya pada tahun 2005.

Awalnya Masnuah hanya ingin menggerakkan kemandirian ekonomi perempuan nelayan dalam menghadapi dinamika yang biasanya terjadi di desa pesisir, kemiskinan. Maka kemudian Masnuah mendirikan Posko Puspita Bahari.

cerita perubahan

Perempuan Nelayan dan Perjuangan Posko Puspita Bahari

Puspita Bahari, adalah kelompok advokasi terhadap para perempuan korban kekerasan. Anggota terbesarnya adalah para nelayan perempuan. Dibentuk pada 25 Desember 2005, oleh Masnuah sebagai penggerak, dengan basis komunitas di tiga desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Semula anggotanya ada 30 orang.

Memulai kegiatan dengan pemberdayaan ekonomi warga dengan membuat produk pengolahan pangan dan membangun koperasi dan menyaksikan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, Puspita Bahari kemudian mempelopori memberikan advokasi dan pendidikan terhadap para anggota.

Diawali dengan anggota 30 para istri nelayan. Puspita berarti bunga (yang identik dengan perempuan) dan bahari adalah laut. Awalnya, tidak mudah mengajak ibu-ibu nelayan untuk berorganisasi. Kegiatan pun disusun, membuat kelompok diskusi, penyuluhan, dan membentuk koperasi.

Kini, anggotanya menjadi 150 perempuan dengan wilayah dampingan di tiga desa, yakni : Morodemak, Margolindu dan Donorejo. Puspita Bahari mengandalkan pada penggalangan dana mandiri yang mereka lakukan dengan cara menjual produk makanan olahan ikan, menyisihkan dari dana transportasi yang diperoleh oleh para anggota.

Salah satu masalah penting di antara mereka adalah: para perempuan nelayan, yang bersama-sama melaut dan menanggung resiko bertaruh nyawa di tengah laut. Jika terjadi kecelakaan kerja, mereka tidak mendapat tanggungan dari pemerintah seperti diatur UU No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan. Hanya suami yang ditanggung biaya pengobatan dan tanggungan kematian. Mengapa? Karena status mereka dianggap sebagai ibu rumah tangga, tidak diakui statusnya sebagai nelayan.

“Karena status di Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah ibu rumah tangga. Pekerjaannya menghadang bahaya di laut hanya dianggap untuk membantu suami. Tidak ada jaminan biaya berobat, perawatan, tanggungan cacat atau kematian ketika ditabrak kapal lain atau di mangsa hewan laut pada saat bekerja,” jelas Masnuah.

Itulah yang membuatnya gelisah. Akhirnya, bersama dengan teman-teman Puspita Bahari, Masnuah dan teman-teman mengadakan advokasi dan pendidikan politik kepada warga. Tentang pentingnya mencantumkan profesi nelayan pada kartu tanda penduduk (KTP) perempuan nelayan karena berkaitan akses jaminan pemerintah kepada nelayan perempuan. Salah satu tuntutan terbesar adalah agar ada perempuan disebut sebagai nelayan di KTP.

Langkah ini tidak mudah. Aparat desa keberatan mengubah identitas menjadi nelayan perempuan. Mereka mempersulit dengan menggunakan dalil agama tentang peran dan tanggungjawab perempuan. Kejadian yang sama dialami lagi ketika melakukan audiensi dengan DPRD Propinsi Jawa Tengah.

Tim Puspita Bahari dipimpin oleh Masnuah Gigih Melakukan Advokasi

Ketika mereka mendapatkan dana Hibah Pundi Perempuan pada 2018 yang dikelola Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Komnas Perempuan, dana tersebut sangat membantu proses advokasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) tersebut. Dana hibah sejumlah Rp.20 juta kemudian dipergunakan untuk biaya transportasi, komunikasi dan akomodasi 31 nelayan perempuan dan pendamping dari Puspita Bahari selama menjalani proses advokasi.

“Kami tidak punya anggaran untuk transportasi ibu-ibu ke kecamatan, ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan perjuangan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dana Pundi Perempuan sangat membantu kami untuk membiayai perjalanan ibu-ibu dan pendamping, komunikasi atau pembelian pulsa, pembelian alat-alat tulis, materai dan lainnya, “kata Masnuah.

Ia menambahkan bahwa dana dari Pundi Perempuan, sebesar Rp.20 juta tersebut sangat bermanfaat dalam mendukung proses advokasi yang akhirnya bisa berhasil, yakni dengan mengubah identitas perempuan nelayan di KTP untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai perempuan nelayan yang dilindungi oleh negara.

Akhirnya, perjuangan tak kenal lelah mereka selama lebih dari 9 bulan advokasi itu berbuah manis. KTP para perempuan nelayan sekarang sudah bisa diubah. Profesi mereka disebutkan sebagai nelayan dalam KTP, dan bukan lagi tertulis sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, mereka terlindung secara hukum dalam setiap aktivitas mencari nafkah sebagai nelayan.

Siapakah Kita di Tengah Wabah Covid-19?

Respon setiap orang menghadapi wabah Covid-19 tentu berbeda. Ada yang ketakutan, mendapat pembelajaran, dan ada pula yang menjadi semakin bijak.

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan infografis yang menunjukan tiga zona emosional kita di tengah wabah Covid-19. Berikut adalah tiga zona tersebut:

Zona Ketakutan:

  • Mudah marah
  • Sering mengeluh
  • Melakukan panic buying
  • Menyebarkan rasa takut dan marah
  • Langsung share info apapun dari media sosial

Zona Belajar:

  • Mulai menerima kenyataan
  • Berhenti belanja berlebihan
  • Menyadari situasi dan berpikir untuk bergerak
  • Menyadari bahwa semua pihak berusaha melakukan yang terbaik
  • Berhenti menyebar info yang tidak jelas kebenarannya
  • Berhenti membaca berita yang membuat cemas
  • Mengenali emosi diri sendiri

Zona Bertumbuh:

  • Mulai memikirkan orang lain dan bagaimana membantunya
  • Menggunakan kemampuan sendiri untuk mereka yang membutuhkan
  • Penuh kasih sayang pada diri sendiri dan orang lain
  • Hidup di saat ini dan fokus ke masa depan
  • Berterima kasih dan mengapresiasi orang lain
  • Menjaga emosi tetap bahagia dan menyebarkan optimisme
  • Mencari cara untuk beradaptasi dengan perubahan
  • Mempraktikkan keheningan, kesabaran, menjalin relasi, dan mengembangkan kreativitas

Launching dan Diskusi Buku “Menyemai Perubahan”

Buku “Menyemai Perubahan” merupakan hasil dari kerja bersama SKP-HAM dan juga Instititut Mosintuvu bersama dengan Rukun Bestari dan juga Indonesia Untuk Kemanusiaan, dalam merekontruksi dan melakukan pendampingan terhadap masyarakat desa pasca terkena bencana alam tahun 2018 kemarin.

Pendampingan dilakukan terhadap pemuda dan komunitas desa untuk sama-sama membangun desa pasca bencana gempa 7,4 SR 28 September 2018 di empat desa di Sulawesi Tengah, yaitu Lemusa, Labuan Toposo, Soulouwe dan Toaya.

Salah satu yang menarik dalam proses pembuatan buku ini adalah pelibatan empat tim pemakna local yang memiliki latar belakang yang berbeda. Pemakna dalam buku itu ialah Neni Muhidin yang aktif di dunia kepenulisan, Mohamad Herianto selaku pegiat sejarah lokal, Moh. Ridwan Lapasere sebagai jurnalis dan juga Rahmadiyah Tria Gayatri sebagai seniman lintas media.

Pemakna adalah simpul yang terdiri dari orang-orang memiliki kompetensi di bidang tertentu dan kedekatan terhadap wilayah atau isu guna melakukan pemaknaan terhadap kontribusi dan dampak dari hibah yang diberikan pada komunitas atau organisasi lokal.

Pemakna adalah bagian dari Komunitas Pemberdaya, sebuah ekosistem kolaboratif yang terdiri dari individu, kelompok maupun organisasi/lembaga yang bekerja sama secara aktif dan berkelanjutan dalam penggalangan, penyaluran, pengelolaan dan pemaknaan sumber daya publik untuk mendukung kerja-kerja kemanusiaan dan pelestarian alam.

Anggota Komunitas Pemberdaya bekerja berdasarkan prinsip-prinsip kesukarelaan, integritas, solidaritas, kesetaraan, keterbukaan dan keberagaman.

Selalu dapatkan kabar terbaru dari kami!