Kamu percaya kalau setiap orang berhak untuk mendapatkan Hari Raya yang berkesan? Kalau ya, yuk ikut berdonasi melalui “Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah Korban ’65”!
Dalam bulan Ramadhan ini, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) melalui program Pundi Insani yang bekerja sama dengan Solidaritas Indonesia (SI) kembali mengajak kamu untuk menjadi bagian sukacita Ramadhan kepada para Si Mbah korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Donasi yang kamu berikan akan disalurkan untuk memenuhi kebutuhan Si Mbah dalam bentuk bingkisan Hari Raya. Di usianya yang sudah tidak muda lagi para Si Mbah masih berjuang untuk mendapatkan akses kesehatan dan hidup sejahtera di masa tuanya.
Penggalangan dana ini akan berlangsung mulai 4 – 17 April 2023.
Kamu bisa berdonasi dengan transfer melalui:
Bank Mandiri an.Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan No rek. 123.00.05290.004 atau pindai QRIS pada poster.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: 0813-8673-5816 (Admin IKa)
Mari bersama-sama kita wujudkan Hari Raya yang berkesan untuk Si Mbah korban ’65!
Terima kasih, untuk kamu donatur dan juga komunitas pemberdaya yang sudah mendukung acara Give Back Sale (GBS) pada 24-26 November 2022.
Dana yang berhasil terkumpul sebesar Rp36.484.500,- atas bantuan dari 42 penyumbang dan 365 pembeli.
Dana akan digunakan untuk mendukung korban kekerasan melalui lembaga pengada layanan/women’s crisis centre di Indonesia melalui Pundi Perempuan yang dikelola Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Komnas Perempuan.
Bagi Sahabat IKa yang ingin terus berdonasi bisa melalui rekening dibawah ini: BCA – 342.305.9008 YSIK
Jangan lupa setelah berdonasi mohon konfirmasi ke nomor WhatsApp +62 813-8673-5816.
Kesejahteraan lansia merupakan isu penting namun kerap kali terabaikan publik. Salah satu faktor yang menyebabkan isu lansia kurang mendapat perhatian karena dianggap persoalan privat. Padahal persoalan kesejahteraan lansia tidak hanya berada di ranah privat melainkan berkaitan dengan permasalahan sistemik dan seyogyanya mendapatkan perhatian publik.
Persoalan yang dihadapi lansia di antaranya kesehatan (penurunan daya tahan tubuh, penyakit, kemampuan bertahan hidup, dsb), ekonomi, sosial, dan psikologis (dukungan keluarga dan masyarakat). Tentu persoalan ini bukan persoalan mudah. Namun, kebanyakan orang memahami persoalan lansia sekadar perubahan siklus kehidupan dari usia muda ke usia tua.
Potret kehidupan lansia penuh persoalan terlihat jelas di desa-desa. Kehidupan lansia di desa sangat memprihatinkan. Beberapa lansia hanya dihadapkan pada penantian ajal. Mereka hidup dengan penuh keterbatasan dan keterbelakangan. Keterbatasan fisik, kondisi kesehatan yang tidak menunjang, keadaan ekonomi yang tidak memadai, dan kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat.
Rasa sepi dan terasing tampaknya hadir menyelimuti mereka. Mereka tinggal jauh dari keluarga dengan kondisi rumah yang sudah reyot. Mereka kesulitan dalam menyambung hidup di tengah tenaga yang tersisa. Namun, mereka tetap memaksakan seluruh tenaganya untuk berkebun dan menjualnya agar dapat menyambung hidup. Mereka bekerja sekadar untuk pemenuhan kebutuhan hidup di tengah situasi yang serba terbatas.
Persoalan lain adalah kesulitan mengakses air bersih karena sumber air bersih jauh dari pemukiman atau rumah tempat mereka tinggal. Masih ada lansia yang hidup tanpa penerangan yang cukup dan akses jalan menuju tempat-tempat pelayanan publik sulit dijangkau. Akses jalan yang sulit berpengaruh terhadap rendahnya partisipasi lansia dalam mengikuti kegiatan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan pelayanan kesehatan lainnya.
Konsep yang keliru dari masyarakat terhadap lansia memperparah keadaan. Lansia dianggap sebagai kelompok tidak produktif sehingga sering diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemiskinan yang dialami para lansia dan tuntutan kehidupan membuat anak-anak lansia merantau untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Sayangnya, anak-anak yang merantau kerap kali tidak kembali untuk menengok ataupun memastikan kondisi orang tuanya. Masyarakat pun cenderung acuh tak acuh terhadap keadaan para lansia tersebut.
Berangkat dari persoalan pelik pada kehidupan lansia, PBH-Nusra bersama lembaga mitra Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), melalui program Better Together yang difasilitasi oleh VOICE berusaha untuk membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang lansia dan seluruh problem kehidupan yang dialami oleh lansia.
PBH-Nusra melalui CO (Community Organizer) dan relawan anak muda berupaya untuk mengurai permasalahan yang terjadi dengan membangun kemitraan bersama pemerintah desa. Kemitraan ini berupaya untuk mendorong peningkatan pelayanan kesehatan terhadap lansia dan keaktifan lansia dalam mengakses Posyandu rutin.
Selain fokus terhadap isu kesehatan lansia, PBH-Nusra juga mendorong musyawarah rencana pembangunan khusus lansia di tingkat desa, terutama di tiga desa dampingan, Ian Tena, Tua Bao dan Natarmage. Tujuannya agar lansia dapat berpartisipasi dalam rencana pembangunan di tingkat desa serta mendapatkan porsi sesuai hak dan kebutuhan lansia itu sendiri. Melalui ruang yang sama, PBH-Nusra mendorong adanya perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dengan melibatkan dinas dan instansi terkait, di antaranya Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, pemerintah desa, petugas medis, orang muda dan perwakilan lansia. Sebagai lembaga pendamping, PBH-Nusra sadar bahwa kesejahteraan lansia tidak seutuhnya menjadi tanggung jawab PBH-Nusra, tetapi tanggung jawab semua pihak antara lain pemerintah, masyarakat, keluarga, dan pihak lain yang menaruh perhatian pada kehidupan lansia. PBH-Nusra hadir sebagai penggerak untuk membangkitkan kesadaran dan pemahaman banyak pihak terhadap persoalan lansia. Keterlibatan banyak pihak dibutuhkan dalam meringankan persoalan yang dihadapi para lansia.
Solo, satu kota berjuta kisah, dari bahagia hingga nelangsa. Periodisasi sejarah tampak berpusat di kota Solo. Dari beragam kisah sejarah, tragedi 65 memberi luka yang tajam hingga saat ini. Luka ini masih butuh proses untuk sembuh dan entah sampai kapan. Perenungan kami disambut teriknya Kota Solo. Sengatan panas menyentuh kulit kami yang tengah menggerek koper menuju kendaraan jemputan. Beberapa dari kami, baru pertama kali menginjakan kaki di Bengawan Solo.
Setiap orang memiliki pandangan beragam dalam menyikapi tragedi ’65. Perbedaan pandangan membuat sikap orang berbeda-beda terhadap eks-tapol (tahanan politik). Stigma pun membelenggu para eks-tapol bahkan hingga keturunan mereka. Padahal menurut pemahaman kami, banyak eks-tapol adalah korban dari rezim Orde Lama. Mereka tidak mendapatkan keadilan bahkan hingga saat ini. Negara lalai atas tanggung jawabnya dalam melindungi rakyatnya. Seolah negara menutup mata bahwa banyak eks-tapol menjadi korban kebiadaban rezim.
Kami masih merekam momen kunjungan ke Mbah Cokro (bukan nama sebenarnya). Mbah Cokro merupakan Simbah/Mbah (panggilan untuk kakek dalam Bahasa Jawa) yang memperjuangkan hak-hak para lansia korban pelanggaran HAM. Mbah Cokro sangat disegani karena jiwa kemanusiaannya. Mbah bercerita kepada kami bagaimana perjuangan korban politik rezim Orde Lama dalam menjalani hidup. Proses Panjang dijalani untuk membuat akses pelayanan publik yang dibatasi. Tentu membuka pintu bersegel, tidak semudah membuka pintu yang tidak terkunci. Hal ini kiranya yang dapat menggambarkan bagaimana kualitas hidup yang dijalani para korban pelanggaran HAM.
Mbah Cokro menceritakan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Ada banyak lika-liku pertentangan dari lingkungan sekitar hingga aparatur negara yang dihadapi, mulai dari sulitnya mengakses buku hijau (buku untuk mengakses layanan berobat gratis ke rumah sakit) hingga turunnya Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) dari Komnas HAM karena negara menyatakan telah terjadi pelanggaran pada korban. Namun dari kisah itu semua, disini kami akan menceritakan tentang bagaimana anak muda terlibat dengan lansia dan menjadi bagian dari mereka. Pertanyaan kami kepada Mbah Cokro, “Bagaimana sih mbah strategi yang membuat anak muda antusias dan mau menjadi bagian dari kerja pendampingan?”
Sambil meneguk secangkir Kopi, Mbah Cokro mulai bercerita proses mengajak anak muda dalam kerja-kerja pendampingan lansia korban pelanggaran HAM. Hal paling penting adalah memahami karakter anak muda saat ini untuk mencari strategi yang tepat. Karakter anak muda sekarang cenderung individualis dan pragmatis menurut Mbah Cokro. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dari tekhnologi sehingga budaya untuk saling bertemu dan berdiskusi mulai pudar. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menghadirkan ruang pertemuan dan diskusi sesuai dengan keadaan saat ini yaitu secara online.
Namun, pertemuan secara virtual tidak mudah membuat hubungan memiliki keterikatan (bonding). Untuk itu, perlu dilakukan pertemuan secara offline juga. Hal ini kemudian diagendakan pertemuan langsung di Kantor Sekber’65 di Solo. Pertemuan awal mendiskusikan tema yang sederhana mengenai budaya yang ada disekitar. Kegiatan ini efektif membangun rasa ingin tahu di kalangan muda. Proses ini juga membuat background anak muda terlihat. Apakah anak muda ini memiliki kepeduliaan terhadap lansia korban ’65 atau baru mengenal atau mengetahui isu ini. Lama-kelamaaan diskusi rutin ini terjalin dan beberapa anak muda komitmen menghadirinya. Alhasil isu diskusi beranjak ke tema yang lebih berat seperti terkait HAM, demokrasi, perlindungan terhadap lansia korban pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Rasa penasaran anak muda berubah menjadi empati yang kemudian terforumkan dalam FGM (Forum Generasi Muda). Mbah Cokro beserta teman-teman di Solo mempertemukan secara langsung antara anak muda dan juga lansia korban. Dari hal tersebut terjadilah perbincangan dan interaksi secara langsung, awal mula anak muda hanya bersimpati dengan cerita dan film yang mereka temui di kanal online kini berubah menjadi sebuah rasa empati.
Tidak berhenti disitu, pertemuan anak muda dengan lansia ini menjadi sebuah momen yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya karena anak muda ini diajak untuk menyambangi secara langsung rumah dari para lansia, mulai dari lansia yang hidup sebatang kara, lansia yang ditolak keberadaannya oleh keluarga, lansia yang hidup dengan keterbatasan ekonomi, lansia dengan saakit tertentu, hingga lansia yang mendapatkan disabilitas secara langsung akibat tragedi masa lalu. Tak jarang juga mereka (anak muda) diajak untuk menyambangi makam dari lansia yang sudah terlebih dahulu mendahului kita.
Empati yang terus tumbuh membuat anak muda di Solo mau bergabung dan menjadi bagian dari FGM. Anak muda ini melakukan pekerjaan secara sukarela untuk membantu para simbah lansia korban yaitu dengan cara melakukan pendampingan kepada simbah untuk kontrol atau check up ke rumah sakit, kunjungan ke rumah simbah didampingi fasilitator, hingga menjemput simbah apabila simbah tidak hadir atau tidak dapat dihubungi. Kerja kemanusiaan dari anak muda ini menggambarkan bahwa anak muda bukan generasi yang acuh terhadap orang lain, namun anak muda merupakan generasi yang peduli terhadap sesama, terutama kaum marjinal.
Aktivasi anak muda yang tergabung dalam FGM mengubah pandangan bahwa anak muda adalah kelompok individualis dan apatis. Anak muda memiliki empati yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi bara api bagi perjuangan HAM. Apalagi secara fisik anak muda memiliki stamina yang kuat. Pada sisi lain, seiring dengan digitalisasi pelayanan publik yang sedang dimassifkan pemerintah ke daerah-daerah, kinerja anak muda yang adaptif terhadap teknologi sangat dibutuhkan. Kolaborasi antara anak muda dan organisasi pendamping sangat baik dalam kerja-kerja perjuangan HAM.
Menjadi tua bukan pilihan, tetapi siklus kehidupan yang dialami oleh setiap manusia secara alamiah. tidak seorangpun di dunia ini yang dapat mengelak dari usia tua. Setiap orang boleh merekayasa agar kelihatan awet muda, tetapi perubahan fisik dan usia, tidak dapat ditipu dengan cara apapun. Usia tua adalah kepastian, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mempersiapkan masa tua sedini mungkin.
Faktanya manusia cenderung mengabaikan satu fase dalam siklus kehidupan yaitu masa tua. Orang cenderung menata masa muda berlebihan dan lupa mempersiapkan diri menyongsong masa tua. Hal ini sungguh nyata dalam kehidupan masyarakat lokal pada umumnya. Mereka menghabiskan waktunya dengan pekerjaan-pekerjaan rutin hingga lupa mengurus dan mempersiapkan masa depan dengan baik. Dampaknya banyak lansia yang tidak dapat menikmati sisa hidupnya secara layak dan jauh dari kata sejahtera. Situasi dan kondisi yang tidak menunjang turut memperparah keadaan sehingga banyak lansia yang mengalami kekerasan dan diterlantarkan oleh keluarganya.
Kondisi ini secara otomatis menempatkan lansia pada posisi yang tidak berguna karena secara fisik sudah tidak perkasa lagi, daya tahan tubuh mulai melemah, fungsi mata mulai kabur, pendengaran tidak lagi berfungsi secara normal, daya ingat mulai melemah, dan berbagai jenis penyakit datang silih berganti. Keadaan ini dialami para lansia penyintas 65.
Lansia dampingan PBH-Nusra adalah kelompok penyintas pelanggaran berat HAM masa lalu yang menyebar di tiga desa dampingan yaitu Ian Tena, Tua Bao dan Natarmage. Jumlah lansia yang didampingi sebanyak 109 orang. Jumlah ini terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu karena banyak lansia yang sudah tidak berdaya karena faktor usia dan penyakit yang diderita.
Selama bertahun-tahun para penyintas hidup dalam ketakutan dan enggan membuka diri dengan pihak luar. Mereka termasuk orang-orang yang mengalami stigma dan diskriminasi berlapis, diabaikan, dan tidak mendapat ruang yang baik di masyarakat. Mereka sulit mengekspresikan diri karena stigma dan diskriminasi. PBH Nusra berupaya mengembalikan harkat dan martabat mereka dengan membuka ruang-ruang inklusi dan memperjuangkan hak-hak lansia untuk mendapatkan pelayanan dan bantuan sosial dari negara.
PBH-Nusra juga melibatkan orang muda sebagai relawan yang siap membantu lansia untuk mengakses layanan dasar terutama di bidang kesehatan seperti posyandu lansia, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan melakukan kunjungan rumah.
PBH-Nusra juga berusaha membangun ruang-ruang perjumpaan yang melibatkan multi pihak baik pemerintah, masyarakat, lansia, orang muda, organisasi yang peduli terhadap lansia dan individu-individu yang menaruh perhatian pada lansia. Aksi-aksi kecil dilakukan untuk memberikan perhatian pada lansia dan membangkitkan rasa kepedulian masyarakat terutama golongan pemuda terhadap lansia. Persoalan lansia tidak semata-mata tanggung jawab negara atau pemerintah melainkan tanggung jawab bersama.
Semua elemen masyarakat perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada lansia dalam mengakses layanan dasar dan bantuan sosial. Sementara pemerintah wajib memastikan bahwa anggaran dan program kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kerja sama yang apik antara masyarakat dan pemerintah akan membuahkan hasil yang baik bagi kesejahteraan lansia. Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan layanan sosial bagi lansia, PBH-Nusra bekerja sama dengan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) yang didukung oleh Voice Global melalui program “Better Together” sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Sikka merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lima puluh tahun silam, Sikka tidak luput dari tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965/1966. Terjadi pembantaian sesama umat Katolik yang berlangsung selama empat hingga lima bulan. Tentu kejadian itu masih sangat lekat di ingatan masyarakat Kabupaten Sikka, salah satunya komunitas adat Tana Ai (orang dari tanah hutan). Banyak dari mereka yang masih memiliki rasa marah dan terluka, serta sulit untuk menjalani hidup bermasyarakat. Terlebih lagi, mereka yang menjadi korban pembunuhan, ditangkap tanpa proses pengadilan dan harus melakukan kerja secara paksa.
Stefanus Porang merupakan anak salah satu korban tragedi tersebut. Ada perasaan sedih, marah, dan terluka karena ayahnya dibunuh. Begitu pula dengan Ignatius Soge, mempunyai rasa takut, bersalah, dan berdosa, lantaran ayahnya telah membunuh. Ingatan masa lalu masih melekat di dalam hati masing-masing. Padahal mereka hidup berdampingan dan sebagian besar mempunyai hubungan tali persaudaraan. Tentu saja, hal ini mengakibatkan beban sosial yang tak ringan. Mereka tidak mempunyai ruang untuk bersuara dan menyembuhkan luka selama lebih dari 50 tahun.
Berpuluh-puluh tahun mereka menanggung trauma dan distigma sebagai “orang sisa”. Hingga tahun 2017, lewat sebuah upacara adat, mereka berdamai dan membangun rekonsiliasi. Adalah ritual adat Gren, tradisi tua Tana Ai yang tak pernah dilakukan setelah peristiwa 1965, merupakan proses pengakuan kesilapan dan penyucian diri. Ritual adat ini dilakukan oleh salah seorang anak di mana orang tuanya pernah menjadi pelaku dalam peristiwa 1965/1966. Pelaksanaan ritual adat ini menunjukan bahwa masyarakat telah menerima, mengampuni, dan memaafkan tradegi kemanusiaan 1965/1966 yang dilakukan oleh orang tua mereka dan bertindak sebagai pelaku. Insiden ini hanya terjadi di ruang adat dan budaya.
Melalui ritual ini juga, Rafel Rapa mengaku kembali bersatu, mengakui kesalahan, dan saling memaafkan antara satu dengan yang lainnya. Ignatius Nasi, saudara kandung dari Ignatius Soge, mengaku sejak peristiwa 1965/1966 merasa hidupnya tidak nyaman. “Ekonomi sulit, ternak banyak mati, saya sakit-sakitan. Saya sudah berusaha mencari penyebabnya tetapi belum dapat,” ungkapnya. Setelah mengikuti upacara adat tersebut, ia mengaku merasa lebih lega. “Acara ini buat saya sangat penting. Saya bisa mengaku dosa atas perbuatan di masa lalu. Rasa bersalah di pihak pelaku terhadap siapapun sudah aman sekarang,” imbuhnya. Ritual ini mendapat banyak dukungan dan dihadiri oleh ratusan komunitas yang ada di wilayah Tana Ai. Selain itu, tokoh masyarakat dan beberapa pejabat pemerintah Kabupaten Sikka turut hadir dan memperbaiki kembali hubungan antara keluarga korban dan pelaku yang sebelumnya renggang.
Artikel ini disadur dari buku “Para Pembuka Jalan” terbit tahun 2019
Temu Mitra atau Temu kangen? Perjumpaan dengan kawan Sekber ’65 dan PBH Nusra yang dihadiri oleh 3 orang dari masing-masing daerah bukanlah moment pertama kali bertemu di tahun 2022. Tetapi sudah lama jejak pertemanan sekaligus kerja sama ini terjalin. Pandemi yang berkepanjangan membuat semua kegiatan lapangan mogok secara mendadak. Jika tidak mogok waspada sangat perlu ditingkatkan.
Seperti baru-baru ini Indonesia untuk Kemanusiaan bersama Sekber ’65 dan PBH Nusra melakukan Temu Mitra di Jakarta Pusat secara langsung (Tatap muka). Acara ini berlangsung selama 3 hari pada 18 – 20 Mei 2022.
Hari pertama di tanggal 18 Mei kami berkumpul di ruang meeting untuk merefleksikan kegiatan apa saja yang sudah kita kerjakan selama 6 bulan terakhir tentang lansia dan anak muda, bagaimana mendorong perubahan sosial dari anak muda kepada lansia khususnya lansia korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Perubahan ini tidak akan terjadi apabila dilakukan secara individu atau hanya kelompok tertentu, jadi perubahan harus dilakukan secara nyata dan bersama, karena bersama lebih baik. Mencapai hal tersebut, sebagai penerus dibutuhkan pelopor baru seperti anak muda yang serta merta peduli kepada lansia salah satu contohnya yaitu pendamping dari anak muda kepada lansia, dan jiwa kerelawanan. Karena bukan suatu hal yang mudah mencari dan menjadi bagian dari pendampingan.
Masih di hari pertama, para peserta temu mitra mendapatkan webinar gender equality, Sisca Noya (voice) sebagai narasumber yang memaparkan tema tentang bagaimana kesetaraan gender pada tahap ranah public. Karena persamaan gender adalah tujuan dan kesetaraaan adalah sarana pencapaian.
Hari berikutnya di tanggal 19 Mei 2022. IKa mempresentasikan dan berdiskusi tentang hasil dari kegiatan yang sudah dilakukan selama lebih dari 6 bulan ini. Mulai dari proses, capaian serta tantangan yang dielaborasikan ke dalam SWOT. Presentasi ini mencakup dari kegiatan monitoring evaluasi, kampanye publik, keuangan, serta program. Diskusi berjalan dengan ramai karena masing-masing dari mitra turut serta ambil bagian dari apa yang dipaparkan oleh kegiatan ini.
Di hari ketiga yang merupakan hari terakhir, kami merefleksikan dari pertemuan sebelumnya dan membuat rencana kerja tidak lanjut capaian serta strategi apa yang akan dilakukan untuk memenuhi target dari kerja-kerja IKa serta para mitra.
Pertemuan dalam jangka waktu 3 hari ini terasa singkat, karena padatnya jadwal dari setiap agendanya. Di hari penutupan ini, IKa bersama kawan-kawan mitra mengagendakan untuk tim building dengan bermain permainan bowling, permainan yang jarang orang melakukannya dan tidak semua di daerah ada permainan tersebut. Wajah yang tadinya Lelah berubah menjadi segar karena keberangkatan disambut oleh guyuran hujan deras, dan permainan ini memacu perlombaan dari masing-masing tim.
Terima kasih voice karena temu mitra ini merupakan perjumpaan belajar dan sekaligus temu kangen dari setiap masing-masing kelompok. #BetterTogether
Ketoprak “Prabu Suro Candolo” menceritakan seorang raja yang memerintah secara otoriter hingga banyak pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kekuasaannya. Gaya memimpin bak diktator ini dibalas dengan protes dan pemberontakan oleh rakyatnya. Kisah Prabu Suro Candolo ini adalah sebuah karya seni dan kampanye pengingat agar kita tak amnesia akan noktah kelam dalam sejarah tanah air.
Yuk, segera registrasikan dirimu! Dengan donasi minimal Rp 50.000, kamu dapat menyaksikan perpaduan apik antara teater modern dan teater tradisional. Silakan kirim donasimu melalui rekening:
Pundi Insani Bank BCA an. YSIK No. Rek : 342.3088.997
Hasil donasi akan disalurkan kepada korban pelanggaran HAM dan untuk pelaksanaan kerja-kerja kemanusiaan.
Jangan lupa isi formulir registrasi melalui untuk mendapatkan link pertunjukan. Untuk pertanyaan dan informasi lebih lanjut silakan hubungi 0813-8673-5816 (Admin IKa). #BetterTogether
Rumah Timbang Para Lansia di Kampung Dobo Desa Ian Tena Sikka Nusa Tenggara Timur sedang berkumpul untuk bermusyawarah, mereka saling mencari solusi bagaimana kesehatan tetap terpantau tanpa melihat jarak yang jauh, memenuhi kebutuhan yang mendesak seperti pengecekan tensi, kolestrol, gula darah, asam urat dan lain-lain.
Dengan kebutuhan yang mendesak ini lahirlah Rumah Timbang untuk para mama-mama yang berada di Kampung Dobo. #BetterTogether
Didik Dyah Suci Rahayu atau yang kerap disapa Didik, merupakan perempuan dari Karanganyar yang tetap semangat dalam membantu para lansia korban ’65 untuk mendapatkan haknya dari negara. Didik merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang di mana ia merupakan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara tersebut.
Terlahir dari keluarga ABRI tak membuat Didik di dalam keluarga diacuhkan dengan pilihan yang saat ini ia pilih sebagai pionir bagi para lansia. Keluarganya memberikan kebebasan dalam menentukan langkah dari yang Didik ambil. Tahun 1987, ia berkuliah di Universitas Swasta yang berada di Surakarta dan lulus pada tahun 1992. Dengan jurusan yang diambil yaitu sejarah.
Ia termasuk perempuan yang aktif semasa berkuliah. Ini terbukti dengan dia mengikuti kegiatan mahasiswa, lalu masuk ke jurnalistik dan aktif di dalamnya. Ia mulai melakukan investigasi berbagai kasus, tetapi pada saat ia menulis ia merasakan keberpihakan pada kasus masyarakat yang lemah dan terintimidasi. Namun, hal tersebut belum kuat untuk menetapkan hatinya, hingga suatu saat ia bertemu dengan seorang teman yang berpihak pada kaum miskin kota. Ia juga berjumpa dengan Mbah Narso yang konsen dengan isu-isu HAM 65, karena Didik yang mempunyai dasar jurnalistik, dari situlah terciptanya kerja sama, dan pada akhirnya mendirikan SekBer ’65. Tahun 1987, SekBer ’65 bernama Sekertariat Bersama Korban ’65 yang di bawah payung dari lembaga bantuan hukum di Solo.
Kedekatan para simbah dengan Didik memberikan bantuan yang sangat mendalam bagi para simbah. Pada saat Didik keluar dari lembaga bantuan hukum, para si mbah bingung bagaimana ia ke depan dalam memperjuangkan haknya. Di titik tertinggi, 8 wilayah dari Jawa Tengah menginginkan mandiri/ memisahkan diri dari 14 pos wilayah dari daerah Jawa Tengah. Kedelapan wilayah ini terdiri dari Solo, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, dan Magelang. Tahun 2012, SekBer mengadakan Kongres dan terbentuklah dengan nama baru, yaitu SekBer ’65. SekBer tidak hanya beranggotakan korban 65, tapi keluarga dan orang-orang diluar korban yang berempati pada atau mendorong proses penyelesaian, khususnya dengan mekanisme rekonsiliasi.
Wilayah SekBer ’65 meliputi Solo, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, dan Magelang. Dalam menghidupi organisasi tidak ada modal tetap. Uang untuk menghidupi organisasi didapat pada saat Didik dan Mbah Narso menjadi pembicara di beberapa tempat. Uang dari menjadi narasumberlah untuk dipakai organisasi. Jika tidak menjadi narasumber, mereka akan melakukan saweran/iuran untuk menghidupi organisasi. Didik muda sempat ingin bekerja di salah satu stasiun televisi di Jakarta sebagai jurnalis, tetapi harapan itu ia urungkan karena para si mbah menangis tersedu-sedu tidak mau ditinggal. Karena siapa lagi yang mau mengurus para si mbah?
Perjumpaan Didik yang pada saat itu menjadi ketua jaringan dokumentasi bersama 65 dengan Direktur Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) saat itu yang menjabat Anik Wusari, itulah momen pertama kali perkenalan dimulai pada acara Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Kerja sama dengan IKa untuk pertama kalinya terjalin pada suatu program di tahun 2014. Dan kerja sama ini kembali terjalin pada Voice dengan program #bettertogether yang dimulai di akhir tahun 2021 hingga sekarang.
Didik menjadi Kartini bagi para pendamping di SekBer. Tiga puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi dan tetap konsisten dalam melakukan pendampingan (mengurusi si mbah), karena tidak semua para si mbah mempunyai keluarga. Ada si mbah yang mempunyai keluarga tetapi anaknya acuh karena ia merasa malu mempunyai orang tua dengan tuduhan anggota 65. Ada yang tidak peduli karena turunan dari tuduhan PKI tidak bisa menjadi PNS pada saat bekerja. Ada pula si mbah yang hidupnya sebatang kara. Hal itulah yang membuat Didik tetap bertahan menjadi pendamping.
Bekerja dan memperjuangkan hak para lansia pada saat berbicara dengan orang lain sangat susah sekali, tutur beliau. Mereka memberikan stigma, belum lagi para si mbah takut berbicara, baik ke orang lain maupun ke keluarga sendiri, bahwa mereka korban yang dikirim ke Pulau Buru, Nusakambangan. Padahal, yang perlu dilakukan secara terukur yaitu terbuka dengan keluarga, terbuka dengan masyarakat, dan menyampaikan informasi yang benar bahwa dirinya sebagai korban. Para korban yang sudah terstigma secara politik belum lagi pada saat membahas persoalan 65 untuk menyelesaikan persoalan tersebut sangat susah karena mereka/orang yang mau berbicara tentang 65 takut dicap PKI/ komunis. Perlu memutar otak bagi Didik untuk menyelesaikan persoalan tersebut, sehingga munculah ide berbicara isu pelanggaran HAM masa lalu bukan dari sisi ’65, tetapi dari sisi kemanusiaan, bahwa ada orang tua yang miskin, terlantar, tidak punya apa-apa, orang terbuang, orang nomor dua. Jadi dari situlah sisi kemanusiaan itu yang diraih baru empati akan muncul dari pribadi masing-masing orang.
Namun, walaupun sisi kemanusiaan dapat diraih, tetapi tetap ada tantangan tersendir. Tidak hanya dari eksternal tetapi juga dari internal seperti semua lansia di atas 65 tahun mereka lemah miskin, jarak geografis jauh jadi apabila ada pertemuan simbah yang rumahnya jauh dia akan datang kalau dia sehat dan mempunyai ongkos, belum lagi masih banyak kecurigaan dari masyarakat, aparat masih mengintai, di perempatan jalan di Solo masih ada banner tentang PKI, tetapi di masa pandemi ini banner tersebut sudah berkurang, dan masih banyak lainnya
Selain tantangan juga ada capaian sampai saat ini yang diperoleh, seperti Didik aktif berjejaring dengan siapapun sehingga banyak keuntungan yang diperoleh pada saat berjejaring secara baik-baik dan melalui rekonsiliasi. Dari sini terlihatlah pencapaian seperti pemberian Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) dari Komnas HAM menjadi pembersih karena negara menyatakan telah terjadi pelanggaran pada korban dengan nama, alamat yang berdomisili, yang kedua SekBer menerima buku hijau kisaran 1.500 yang nantinya buku ini diperuntukan bagi para simbah untuk berobat gratis di Rumah Sakit, Pemkot Surakarta memberi bantuan seperti PKH BLT 2 bedah rumah kepada para si mbah.
Pendampingan hingga kini masih dilakukan oleh Didik serta tim dari SekBer, yang tadinya Didik turun ke wilayah kini ia melakukan pertemuan rutin sebulan sekali dan pertemuan lagi kalau ada asesmen dari Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dan yang turun ke lapangan dan melakukan visit ke rumah-rumah kini tim dari SekBer. Tapi, tetap para antusias para simbah patut diapresiasi semangatnya karena lansia yang hadir jika melakukan pertemuan sekitar 25 orang dari 40 lansia.
Tidak ada duka yang dirasakan oleh Kartini Solo itu, karena ia merasa bahagia di setiap momen kebersamaan dengan para simbah. Karena baginya kemanusiaan, rasa cinta kasih sayang ke mereka adalah sebuah keharusan yang dilakukan dan ia tidak lupa hal kebaikan yang dilakukan merupakan bagian dari iman kepada Tuhan.
Harapan untuk para simbah baginya yaitu, agar simbah selalu sehat, tetap kuat, karena perjuangan belum selesai. Dan untuk tim SekBer ’65 ini, terima kasih sudah menjadi bagian dari keluarga SekBer jangan lemah harus semakin kuat, karena organisasi kuat akan sangat membantu para simbah.
Dialah perempuan Kartini di Era Modern bagi para Lansia di Jawa Tengah, melalui kepedulian dia beserta tim SekBer ’65 banyak para si mbah yang terbantu untuk menikmati masa tuanya walaupun perjuangan belum usai, tidak sedikit pula simbah yang sudah mendahului dipanggil oleh Tuhan.