Setiap Natal adalah momen berbagi kasih yang dirayakan.
Dalam rangka berbagi Bingkisan Natal untuk Simbah pada tanggal 29 November – 20 Desember 2024, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) menggalang donasi melalui Pundi Insani.
Donasi berhasil terkumpul sebesar Rp67.007.100. dari 11 donatur dan telah didistribusikan pada 23-30 Desember kepada 97 Si Mbah di wilayah Banyumas, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan NTT.
Terima kasih telah memberikan kehangatan Natal yang berkesan di hati para Si Mbah Lansia.
Kamis 18 Juli 2024, musibah kebakaran menimpa rumah Bu Betet (nama panggilan untuk Ibu Sumiyati) seorang penyintas 65. Peristiwa kebakaran terjadi pada sore hari, saat Ibu sedang beribadah ke gereja. Kebakaran berhasil dipadamkan dengan bantuan warga setempat bersama pemadam kebakaran dan hanya menyisakan tembok pada beberapa sisi rumah dan beberapa kursi yang masih cukup layak untuk digunakan. Bu Betet pada masa mudanya adalah juga seorang perias pengantin, Ibu tidak segan memberi pengurangan bahkan tidak keberatan ketika pengantin tidak memiliki dana tidak ada bayaran bagi pekerjaannya. Beberapa waktu ini, rumah Bu Betet kerap kali digunakan untuk menjadi tempat tinggal bagi mahasiswa yang tengah melangsungkan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desanya. Tak mengherankan jika dibalik musibah yang terjadi, muncul kehangatan yang tak terduga. Tetangga dan kerabat segera berdatangan untuk memberikan simpati dan dukungan.
Sehari selepas musibah kebakaran, bantuan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) datang. Bersama dengan tetangga, mereka bahu-membahu membangun kembali rumah Bu Betet. Hal ini menggerakkan hati Mas Ari, salah satu tetangga Bu Betet yang juga seorang kontraktor yang dengan sukarela menanggulangi biaya pembangunan kembali rumah tersebut. Sebuah tim bahkan dibentuk oleh masyarakat sekitarnya, untuk memperlancar proses pembangunan, mengurus dapur umum, dan mengelola segala bantuan yang masuk.
Bu Betet merupakan sosok yang tangguh, baginya, “Derita jika dijalankan memang menyakitkan namun kalau dihayati indah pada waktunya.” Ia selalu menebar senyum dan tidak sedikitpun memperlihatkan kesedihannya saat para relawan datang menemuinya. Selama proses pembangunan kembali rumahnya Bu Betet memilih tinggal di tenda yang diberikan Kemensos walau beberapa warga menawarinya bermalam di rumah mereka. Namun Ia menolak dan memilih tetap tinggal dan bermalam di halaman rumahnya. Rumah yang penuh kenangan.
Bu Betet adalah juga seorang yang tak pernah lepas dari doa dan syukur. Atas solidaritas yang mengalir dari banyak orang, melampaui yang dia bayangkan, Ibu mengucapkan banyak terima kasih dan mendoakan para relawan dan donatur. Menurut Ibu, yang pernah hampir kehilangan nyawa karena ditangkap dalam tragedi 65, kehilangan materi bukanlah hal yang terberat. Sikap Ibu yang tegar ini mengundang rasa takjub dari relawan ataupun donatur yang berkunjung, alih-alih menghibur Bu Betet, malah mereka yang belajar banyak dari kearifan beliau.
Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) sebagai organisasi dengan visi memperjuangkan kehidupan yang adil, bermartabat, dan sejahtera bagi semua , melakukan penggalangan donasi. Dan mengumpulkan bantuan sebesar Rp. 8.500.000 yang disalurkan kepada Bu Betet melalui mitra IKa, Sekretariat Bersama (Sekber) 65. Sekber 65 sendiri merupakan organisasi paguyuban para penyintas 65 yang kegiatannya fokus pada pendampingan lansia penyintas. IKa juga menyempatkan diri hadir mengunjungi Bu Betet, sebelum meninggalkan lokasi, Ibu berpesan,”Jadilah orang yang berguna”.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1445 H, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) di bawah program Pundi Insani menggalang donasi dari tanggal 19 Maret – 2 April 2024 bertajuk Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah, Penyintas Peristiwa ‘65. Pada tahun sebelumnya, IKa mendistribusikan Bingkisan Hari Raya untuk Si Mbah di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan diskusi di internal IKa dengan Tim Pengarah Pundi Insani, tahun ini IKa mendistribusikan Bingkisan Hari Raya ke wilayah Banyuwangi melalui komunitas Layar Kumendung, sebuah komunitas seni yang merupakan hasil inisiatif dari sebagian penyintas peristiwa 1965/1966 bersama sejumlah individu dari berbagai latar belakang. Layar Kumendung, melalui komunitas Angklung Soren yang dikelolanya, menjadikan seni sebagai cara untuk menghadirkan kemanusiaan melalui aktivitas pelestarian kesenian Banyuwangi.
Bapak Slamet Abdul Radjat, Ketua Pengurus Layar Kumendung, adalah pegiat kesenian Banyuwangi. Beliau juga adalah pencipta tarian Genjer-Genjer dan karya terbarunya adalah Tarian Perawan Sunting. Meskipun termasuk dalam kelompok yang terkena stigma peristiwa ‘65, beliau tidak pernah kenal lelah berkesenian serta melestarikan kebudayaan Banyuwangi melalui sanggar asuhannya bahkan hingga usia senja. Melalui Pak Slamet, bingkisan hari raya diberikan kepada 26 lansia penyintas yang berada di Banyuwangi, Ketapang, Glagah, dan Giri.
Saat melakukan pembagian bingkisan, Pak Slamet berperan sebagai koordinator dan membaginya melalui dua skema. Skema pertama, para penyintas sebagai penerima bingkisan berkumpul langsung di Sanggar ataupun di rumah Pak Slamet. Kedua, Pak Slamet mendatangi langsung ke rumah para penerima. Hal ini ternyata semakin memperkuat solidaritas di antara para penyintas pelanggaran berat HAM. Pemberian donasi dilakukan sejak tanggal 7 April 2024, para penyintas merasa bahagia menerima karena merasa ada yang masih memiliki kepedulian terhadap mereka.
“Terima kasih, semoga diparingi rezeki dan sehat kanggo donatur. Kami senang atas kepedulian yang diberikan terhadap kami. Berapapun nominal tidak menjadi persoalan,” ungkap Ibu Slamet menyampaikan kesan dari para penerima donasi yang sudah memasuki usia senja.
Beberapa penyintas juga masih aktif dalam berkesenian. Namun yang menjadi kerisauan mereka adalah kurangnya pendokumentasian atas hasil seni yang dihasilkan. Sejauh ini, mereka merawat ingatan dengan bertutur serta mengajarkan kepada kaum muda kesenian Banyuwangi baik dari tarian maupun permainan alat musik seperti angklung, kesenian yang sedianya dikenal berasal dari Jawa Barat, ternyata terdapat juga di Banyuwangi dengan nama Angklung Banyuwangian dan sudah ada sejak zaman Kerajaan Blambangan.
Pak Slamet kembali menyampaikan harapannya kepada Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan secara umum kepada instansi atau lembaga terkait untuk mendukung dan memfasilitasi proses pendokumentasian karya seni dari Layar Kumendung dan Sanggar Angklung. Harapannya hal ini dapat merawat Sejarah bangsa dan menjaga kelestarian kesenian Banyuwangi.
Dalam rangka berbagi Bingkisan Natal untuk Simbah pada tanggal 5 – 18 Desember 2023 melalui program Pundi Insani yang digalang oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) membuka donasi untuk Simbah dan berhasil terkumpul sebesar Rp. 2.340.000,- yang akan disalurkan melalui komunitas Sekber’65 yang berada di wilayah Solo.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dengan dukungan UNFPA mengadakan Temu Lansia pada beberapa waktu lalu. Kegiatan Temu Lansia berlangsung secara hybrid di lima wilayah yaitu Jakarta, Yogyakarta, Aceh, Palu, dan Sikka. Wajah suka cita tergambar dari raut para lansia yang saling melepas rindu setelah lama tidak dapat bertemu karena pandemi Covid-19.
Temu Lansia dimulai dengan sambutan dari Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Komnas Perempuan, dan UNFPA. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan sharing yang dimoderatori Soraya Oktaviani selaku Koordinator Program IKa, bersama dengan Cak Fu (Bahrul Fuad) mewakili Komisioner Komnas Perempuan, dan Cahyo mewakili UNFPA.
Temu Lansia bertujuan untuk saling memastikan keadaan dan kondisi para lansia, evaluasi bantuan alat Kesehatan yang diberikan kepada para lansia, dan melihat sejauh mana kebutuhan lansia yang perlu diupayakan bersama. Selain itu, para pendamping lansia juga berbagi peluang dan tantangan advokasi kebijakan khususnya perihal hak reparasi korban pelanggaran HAM.
Cak Fu menyampaikan urgensi perlindungan lansia dan khususnya lansia korban pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas Perempuan dan IKa memastikan dan mengupayakan agar para sepuh (lansia) seyogyanya dimanusiakan sebagaimana kewajiban kita memanusiakan (memuliakan) orang tua kita. Pengadaan alat kesehatan dari Jepang oleh UNFPA menjadi salah satu upaya yang dilakukan. Cak Fu berharap agar ke depannya kesejahteraan lansia tidak hanya bergantung pada pendanaan negara lain tetapi juga dari pemerintah Indonesia.
Cahyo (UNFPA) menyampaikan komitmen global dalam menyejahterakan lansia dan sejalan dengan fokus isu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pemenuhan hak-hak dasar. Sejak 1998, Pemerintah Indonesia juga sudah berkomitmen perihal kesejahteraan lansia dalam UU No. 13 tahun 1998. Atas dasar hal itu, UNFPA bersama dengan Komnas Perempuan akan terus berkomitmen dalam menyejahterakan lansia. Bantuan alat kesehatan merupakan salah satu komitmen dalam upaya pemenuhan hak dasar lansia. UNFPA memohon maaf atas proses pendistribusian yang cukup lama. UNFPA berharap ke depannya akan semakin baik lagi dalam mengupayakan pemenuhan hak bagi lansia.
Para lansia bersyukur atas bantuan alat kesehatan yang didapatkan. Mereka berharap proses penyalurannya lebih cepat dan tepat atau tidak berjarak terlalu jauh paska pendataan. Salah satu peserta tamu lansia dari Aceh menyampaikan harapannya agar terbukanya peluang untuk mendapatkan bantuan lainnya. Pada sisi lain, ada beberapa data baru dan mereka belum mendapatkan bantuan alat kesehatan.
Update dan memberi kabar saling disampaikan melalui zoom yang menghubungkan ke lima wilayah yang tergabung. Para lansia juga menyampaikan pandangan dan harapannya. Usia senja tidak menyulutkan api semangat dan harapannya agar hak reparasi didapatkan. Perjuangan tidak pernah usai dan menjadi tua bukanlah sebab menjadi lemah. Semangat itu kiranya yang disampaikan dari raut wajah para lansia yang hadir.
Meskipun terdapat perbedaan waktu di antara beberapa wilayah, pelaksanaan kegiatan Temu Lansia tetap berlangsung efektif dan syahdu. Sumiyati, mantan Sekretaris Gerwani, menyanyikan lagu tentang lansia. Lagu tersebut syarat akan makna meski secara kondisi fisik dan kesehatan terbatasi namun tidak membuat semangat juang para lansia melemah. Hal ini terbukti di mana beberapa lansia harus menempuh perjalanan dari Klaten, Banyumas, dan Purwokerto untuk saling melepas rindu di Jakarta. Menambah semarak kehangatan, paduan suara Dialita menyanyikan lagu Manusia Kuat. Lansia bukanlah manusia lemah. Temu Lansia ini telah memberi pembelajaran berharga bahwa dengan bersama kita berdaya.
Kesejahteraan lansia merupakan isu penting namun kerap kali terabaikan publik. Salah satu faktor yang menyebabkan isu lansia kurang mendapat perhatian karena dianggap persoalan privat. Padahal persoalan kesejahteraan lansia tidak hanya berada di ranah privat melainkan berkaitan dengan permasalahan sistemik dan seyogyanya mendapatkan perhatian publik.
Persoalan yang dihadapi lansia di antaranya kesehatan (penurunan daya tahan tubuh, penyakit, kemampuan bertahan hidup, dsb), ekonomi, sosial, dan psikologis (dukungan keluarga dan masyarakat). Tentu persoalan ini bukan persoalan mudah. Namun, kebanyakan orang memahami persoalan lansia sekadar perubahan siklus kehidupan dari usia muda ke usia tua.
Potret kehidupan lansia penuh persoalan terlihat jelas di desa-desa. Kehidupan lansia di desa sangat memprihatinkan. Beberapa lansia hanya dihadapkan pada penantian ajal. Mereka hidup dengan penuh keterbatasan dan keterbelakangan. Keterbatasan fisik, kondisi kesehatan yang tidak menunjang, keadaan ekonomi yang tidak memadai, dan kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat.
Rasa sepi dan terasing tampaknya hadir menyelimuti mereka. Mereka tinggal jauh dari keluarga dengan kondisi rumah yang sudah reyot. Mereka kesulitan dalam menyambung hidup di tengah tenaga yang tersisa. Namun, mereka tetap memaksakan seluruh tenaganya untuk berkebun dan menjualnya agar dapat menyambung hidup. Mereka bekerja sekadar untuk pemenuhan kebutuhan hidup di tengah situasi yang serba terbatas.
Persoalan lain adalah kesulitan mengakses air bersih karena sumber air bersih jauh dari pemukiman atau rumah tempat mereka tinggal. Masih ada lansia yang hidup tanpa penerangan yang cukup dan akses jalan menuju tempat-tempat pelayanan publik sulit dijangkau. Akses jalan yang sulit berpengaruh terhadap rendahnya partisipasi lansia dalam mengikuti kegiatan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan pelayanan kesehatan lainnya.
Konsep yang keliru dari masyarakat terhadap lansia memperparah keadaan. Lansia dianggap sebagai kelompok tidak produktif sehingga sering diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemiskinan yang dialami para lansia dan tuntutan kehidupan membuat anak-anak lansia merantau untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Sayangnya, anak-anak yang merantau kerap kali tidak kembali untuk menengok ataupun memastikan kondisi orang tuanya. Masyarakat pun cenderung acuh tak acuh terhadap keadaan para lansia tersebut.
Berangkat dari persoalan pelik pada kehidupan lansia, PBH-Nusra bersama lembaga mitra Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), melalui program Better Together yang difasilitasi oleh VOICE berusaha untuk membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang lansia dan seluruh problem kehidupan yang dialami oleh lansia.
PBH-Nusra melalui CO (Community Organizer) dan relawan anak muda berupaya untuk mengurai permasalahan yang terjadi dengan membangun kemitraan bersama pemerintah desa. Kemitraan ini berupaya untuk mendorong peningkatan pelayanan kesehatan terhadap lansia dan keaktifan lansia dalam mengakses Posyandu rutin.
Selain fokus terhadap isu kesehatan lansia, PBH-Nusra juga mendorong musyawarah rencana pembangunan khusus lansia di tingkat desa, terutama di tiga desa dampingan, Ian Tena, Tua Bao dan Natarmage. Tujuannya agar lansia dapat berpartisipasi dalam rencana pembangunan di tingkat desa serta mendapatkan porsi sesuai hak dan kebutuhan lansia itu sendiri. Melalui ruang yang sama, PBH-Nusra mendorong adanya perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dengan melibatkan dinas dan instansi terkait, di antaranya Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, pemerintah desa, petugas medis, orang muda dan perwakilan lansia. Sebagai lembaga pendamping, PBH-Nusra sadar bahwa kesejahteraan lansia tidak seutuhnya menjadi tanggung jawab PBH-Nusra, tetapi tanggung jawab semua pihak antara lain pemerintah, masyarakat, keluarga, dan pihak lain yang menaruh perhatian pada kehidupan lansia. PBH-Nusra hadir sebagai penggerak untuk membangkitkan kesadaran dan pemahaman banyak pihak terhadap persoalan lansia. Keterlibatan banyak pihak dibutuhkan dalam meringankan persoalan yang dihadapi para lansia.
Solo, satu kota berjuta kisah, dari bahagia hingga nelangsa. Periodisasi sejarah tampak berpusat di kota Solo. Dari beragam kisah sejarah, tragedi 65 memberi luka yang tajam hingga saat ini. Luka ini masih butuh proses untuk sembuh dan entah sampai kapan. Perenungan kami disambut teriknya Kota Solo. Sengatan panas menyentuh kulit kami yang tengah menggerek koper menuju kendaraan jemputan. Beberapa dari kami, baru pertama kali menginjakan kaki di Bengawan Solo.
Setiap orang memiliki pandangan beragam dalam menyikapi tragedi ’65. Perbedaan pandangan membuat sikap orang berbeda-beda terhadap eks-tapol (tahanan politik). Stigma pun membelenggu para eks-tapol bahkan hingga keturunan mereka. Padahal menurut pemahaman kami, banyak eks-tapol adalah korban dari rezim Orde Lama. Mereka tidak mendapatkan keadilan bahkan hingga saat ini. Negara lalai atas tanggung jawabnya dalam melindungi rakyatnya. Seolah negara menutup mata bahwa banyak eks-tapol menjadi korban kebiadaban rezim.
Kami masih merekam momen kunjungan ke Mbah Cokro (bukan nama sebenarnya). Mbah Cokro merupakan Simbah/Mbah (panggilan untuk kakek dalam Bahasa Jawa) yang memperjuangkan hak-hak para lansia korban pelanggaran HAM. Mbah Cokro sangat disegani karena jiwa kemanusiaannya. Mbah bercerita kepada kami bagaimana perjuangan korban politik rezim Orde Lama dalam menjalani hidup. Proses Panjang dijalani untuk membuat akses pelayanan publik yang dibatasi. Tentu membuka pintu bersegel, tidak semudah membuka pintu yang tidak terkunci. Hal ini kiranya yang dapat menggambarkan bagaimana kualitas hidup yang dijalani para korban pelanggaran HAM.
Mbah Cokro menceritakan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Ada banyak lika-liku pertentangan dari lingkungan sekitar hingga aparatur negara yang dihadapi, mulai dari sulitnya mengakses buku hijau (buku untuk mengakses layanan berobat gratis ke rumah sakit) hingga turunnya Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) dari Komnas HAM karena negara menyatakan telah terjadi pelanggaran pada korban. Namun dari kisah itu semua, disini kami akan menceritakan tentang bagaimana anak muda terlibat dengan lansia dan menjadi bagian dari mereka. Pertanyaan kami kepada Mbah Cokro, “Bagaimana sih mbah strategi yang membuat anak muda antusias dan mau menjadi bagian dari kerja pendampingan?”
Sambil meneguk secangkir Kopi, Mbah Cokro mulai bercerita proses mengajak anak muda dalam kerja-kerja pendampingan lansia korban pelanggaran HAM. Hal paling penting adalah memahami karakter anak muda saat ini untuk mencari strategi yang tepat. Karakter anak muda sekarang cenderung individualis dan pragmatis menurut Mbah Cokro. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dari tekhnologi sehingga budaya untuk saling bertemu dan berdiskusi mulai pudar. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menghadirkan ruang pertemuan dan diskusi sesuai dengan keadaan saat ini yaitu secara online.
Namun, pertemuan secara virtual tidak mudah membuat hubungan memiliki keterikatan (bonding). Untuk itu, perlu dilakukan pertemuan secara offline juga. Hal ini kemudian diagendakan pertemuan langsung di Kantor Sekber’65 di Solo. Pertemuan awal mendiskusikan tema yang sederhana mengenai budaya yang ada disekitar. Kegiatan ini efektif membangun rasa ingin tahu di kalangan muda. Proses ini juga membuat background anak muda terlihat. Apakah anak muda ini memiliki kepeduliaan terhadap lansia korban ’65 atau baru mengenal atau mengetahui isu ini. Lama-kelamaaan diskusi rutin ini terjalin dan beberapa anak muda komitmen menghadirinya. Alhasil isu diskusi beranjak ke tema yang lebih berat seperti terkait HAM, demokrasi, perlindungan terhadap lansia korban pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Rasa penasaran anak muda berubah menjadi empati yang kemudian terforumkan dalam FGM (Forum Generasi Muda). Mbah Cokro beserta teman-teman di Solo mempertemukan secara langsung antara anak muda dan juga lansia korban. Dari hal tersebut terjadilah perbincangan dan interaksi secara langsung, awal mula anak muda hanya bersimpati dengan cerita dan film yang mereka temui di kanal online kini berubah menjadi sebuah rasa empati.
Tidak berhenti disitu, pertemuan anak muda dengan lansia ini menjadi sebuah momen yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya karena anak muda ini diajak untuk menyambangi secara langsung rumah dari para lansia, mulai dari lansia yang hidup sebatang kara, lansia yang ditolak keberadaannya oleh keluarga, lansia yang hidup dengan keterbatasan ekonomi, lansia dengan saakit tertentu, hingga lansia yang mendapatkan disabilitas secara langsung akibat tragedi masa lalu. Tak jarang juga mereka (anak muda) diajak untuk menyambangi makam dari lansia yang sudah terlebih dahulu mendahului kita.
Empati yang terus tumbuh membuat anak muda di Solo mau bergabung dan menjadi bagian dari FGM. Anak muda ini melakukan pekerjaan secara sukarela untuk membantu para simbah lansia korban yaitu dengan cara melakukan pendampingan kepada simbah untuk kontrol atau check up ke rumah sakit, kunjungan ke rumah simbah didampingi fasilitator, hingga menjemput simbah apabila simbah tidak hadir atau tidak dapat dihubungi. Kerja kemanusiaan dari anak muda ini menggambarkan bahwa anak muda bukan generasi yang acuh terhadap orang lain, namun anak muda merupakan generasi yang peduli terhadap sesama, terutama kaum marjinal.
Aktivasi anak muda yang tergabung dalam FGM mengubah pandangan bahwa anak muda adalah kelompok individualis dan apatis. Anak muda memiliki empati yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi bara api bagi perjuangan HAM. Apalagi secara fisik anak muda memiliki stamina yang kuat. Pada sisi lain, seiring dengan digitalisasi pelayanan publik yang sedang dimassifkan pemerintah ke daerah-daerah, kinerja anak muda yang adaptif terhadap teknologi sangat dibutuhkan. Kolaborasi antara anak muda dan organisasi pendamping sangat baik dalam kerja-kerja perjuangan HAM.